Jumat, 10 April 2015

Peranan Bank Syariah Bagi Perekonomian

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Bank adalah lembaga perantara keuangan (intermediary financial)dari pihak yang surplus dana kepada pihak yang defisit dana. Pihak yang surplus dana mengamanahkan dananya kepada bank agar disimpan atau disalurkan dengan baik. Sebagai lembaga perantara, bank harus melakukan mekanisme pengumpulan dana (equity financing) maupun penyaluran dana (debt,financing)secara seimbang sesuai dengan amanah dengan tetap mengedepankan prinsip keadilan.
Bank sebagai lembaga intermediasi dalam pengelolaan dana, mempunyai posisi strategis dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Peran intermediasi bank merupakan amanah yang harus dijalankan dengan tetap mengedepankan prinsip keadilan. Dalam perekonomian modern, penggunaan bunga senantiasa dikaitkan dengan operasionalisasi sistem perbankan. Karena interdependensinya dengan berbagai variabel ekonomi lainnya, maka setiap gejolak yang terjadi pada bunga akan mengakibatkan pula ketidakstabilan ekonomi.
Lahirnya bank-bank syariah dalam satu dekade terakhir adalah wujud komitmen masyarakat untuk menerapkan prinsip syariah dalam mewujudkan kesetaraan, kejujuran dan keadilan melalui sistem bagi hasil. Pada saat bank konvensional tidak mampu bertahan dalam menghadapi gejolak krisis, justru bank syariah memiliki daya tahan yang tangguh dan tetap mampu mendukung sektor rill. Wujud kontribusi nyata bank syariah -meskipun belum optimal- merupakan potensi besar bagi pengembangan sistem keuangan modern. Peran serta semua pihak dan pelaku ekonomi terkait merupakan keharusan yang segera direalisasikan untuk mewujudkan sistem keuangan alternatif dalam memecahkan masalah ekonomi. Kata kunci : bank, bunga,

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, saya menyimpulkan bahwa rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sesungguhnya peran bank syariah di Indonesia?
2. Apa hubungan bunga dalam sistem perbankan dan ketidakadilan 
    ekonomi ?
3.Bagaimana Posisi, Peluang dan Tantangan Bank Syariah Dalam
   Pembangunan Ekonomi di Indonesia

C.    Batasan Masalah
Dalam makalah ini, saya hanya membatasi satu permasalah saja yaitu “Manfa’at Bank Syariah Bagi kehidupan ekonomi Masyarakat.”
D.    Tujuan Penulisan
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk mengetahui :
1.    Dapat mendeskripsikan tentang peranan bank syariah pada
masyarakat
2. Mengetahui hubungan bunga dalam sistem perbankan dan
    ketidakadilan ekonomi
3. Memahami posisi, peluang dan tantangan bank syariah dalam
    pembangunan ekonomi di Indonesia
E.     Metode Penulisan
Metode yang saya gunakan untuk menyusun makalah ini  adalah dengan menggunakan teknik pengumpulan data studi pustaka yang di peroleh melalui studi kepustakaan yaitu pengumpulan data dari searching internet.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Peranan Bank Syariah
Dalam Pedoman Akuntansi Perbankan Syari’ah Indonesia (PAPSI) tahun 2003 bank syari’ah mempunyai Fungsi sebagai berikut :
1.      Manajer Investasi
Bank Syari’ah dapat mengelola investasi atas dana nasabah dengan menggunakan akad Mudharabah atau sebagai agen investasi.
2.      Investor
Bank Syaria’ah dapan menginvestasikan dana yang dimilikinya maupun dana nasabah yang dipercayakan kepadanya dengan meggunakan alat investasi yang sesuai dengan syari’ah. Keuntungan yang diperoleh dibagi secara proporsional sesuai nisbah yang disepakati antara bank dan pemilik dana.
3.      Penyedia jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran
Bank syariah dapat melakukan kegiatan jasa – jasa layanan perbankan seperti bank non syariah sepanjang tidak bertentangan dengan prinsif syariah.
4.      Pengembangan fungsi sosial
Bank syariah dapat memberikan pelayanan sosial dalam bentuk pengelolaan dana zakat, infaq, shadaqah, serta pinjaman kebajikan ( qardhul hasan) sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Tapi lebih dari itu perbankan syariah juga memberikan tanggung jawab kepada perkembangan ekonomi umat. Indonesia dengan jumlah peduduk muslim yang besar ini secara ekonomi mereka adalah kalangan menegah kebawah. Mereka membutuhkan penompang untuk mengembangkan taraf ekonomi mereka. Tidak sebatas pada lebih kecilnya biaya bulanan dibandingkan dengan bank konfensional.
Bank syariah secara khusus juga harus memjadikan dirinya sebagai salah satu kesatuan sistem kekuatan ekonomi umat di Indonesia dengan tidak meninggalkan nilai-nilai keberagaman pada masyarakat kita dengan tetap memberikan pelayanan bagi siapapun sehingga bank syariah merupakan salah satu syiar kearifan dalam islam yang berbasis pada kemudahan, kesantunan, keadilan dan rahmat bagi semesta alam.
Bank syariah juga harus bisa mengembangkan sisten Zakat secara lebih modern untuk peningkatan ekonomi umat secara lebih merata. Intinya bahwa perbankan syariah ahrus terus melakukan inovasi-inovasif kreatif dari sistem ekonomi syariah seperti: zakat, infak shodakoh secara lebih modern yang selama ini belum terorganisir dan tersistem dalam kesatuan yang baik. sesuai dengan perkembangan zaman sehingga bank syariah sebagai sistem kekuatan perekonomian umat dan pemberdayaan ekonomi umat terwujud.

B.     Bunga Dalam Sistem Perbankan dan Ketidakadilan Ekonomi
Evolusi perbankan dengan berbagai macam produknya, telah memberikan warna tersendiri dalam dinamika perekonomian modern. Dominasi sistem bunga dalam berbagai aktifitas perekonomian, berkonsekuensi terhadap operasionalisasi perbankan dengan bunga sebagai instrumen utamanya. Mekanisme bunga telah memberikan jarak dan memunculkan distorsi sehingga menimbulkan ketidakterkaitan langsung (disconnection) antara sektor finansial —yang berkembang sangat pesat dan fantastis di sate pihak- dengan sektor riil yang secara nyata memberi nafas kehidupan masyarakat. Kondisi ini akhirnya menimbulkan pertumbuhan ekonomi yang semu (buble economy). Keynes (1936) mendefinisikan bunga sebagai persentase kelebihan sejumlah uang pada perjanjian penyerahan di masa depan, misalnya sesudah setahun, terhadap harga uang secara tunai atau kas jumlah uang termaksud.
Dengan demikian, bunga tersebut merupakan tambahan yang diperoleh berdasarkan persentase pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan yang ditentukan secara tetap pada awal transaksi tanpa mempertimbangkan keadaan proyek di masa datang untung atau rugi. Padahal dalam dunia nyata optimalisasi atas uang atau modal tergantung dari jenis usaha, lama usaha, keadaan pasar beserta jaringannya, serta stabilitas politik, yang mana akan memunculkan pula resiko kerugian, sehingga padanya diperlukan sharing. Teori tentang bunga bukanlah berdasarkan teori ekonomi, tapi dari ilmu biologi tentang perkembangan sel, yaitu Pt = Po (l+g)' yang kemudian diadopsikan dalam ilmu keuangan modern menjadi FV = PV ". Dalam konsep time value of money, nilai tambah uang pada masa yang akan datang (future value) tidak dapat menjelaskan bagaimana seharusnya memaksimalkan dan meminimalkan penggunaan uang (value added of money) sebagaimana ilmu keuangan yang selalu dikaitkan dengan keuntungan dan resiko dalam mengoptimalkan laba.
Dalam teori ekonomi, uang merupakan variabel yang volumenya ditentukan oleh actual spending demand, (MV=PT). Nilai tambah uang terjadi jika dan hanya jika terdapat pemanfaatan secara ekonomis dari penggunaan uang tersebut dalam sektor rii I (economic value of time) Munculnya krisis keuangan, khususnya di Asia dimana salah satunya adalah akibat tingginya laju suku bunga, telah membuka tabir gelap teori ekonomi konvensional yang mendominasi segala aktifitas ekonomi.
Permasalahan mendasar yang melatarbelakangi krisis di Asia ini diduga disebabkan adanya krisis kualitas lembaga-lembaga keuangan yang dipengaruhi oleh penerapan suku bunga yang ternyata gagal berfungsi sebagai alat indirect screening mecanism. Peringatan tentang bahayanya suku bunga sebagai alat indirect screening mecanism pada dasarnya telah dilakukan oleh para ekonom sebelum krisis muncul. Berbagai literatur yang ditulis oleh para ekonom seperti Muslehudin (1974), Qureshi (1979), Kahf (dalam Khursid, 1981), Siddigi (1981), Chapra (1985 dan 1996), Allais (1993), Mills dan Presley (1997) serta Choudhury dan Mirakhor (1997) tidak menyetujui perekonomian yang bertumpu pada suku bunga. Kebijakan suku bunga akan menimbulkan misalokasi resources yang pada gilirannya cenderung akan mengakibatkan irwrnik.
 ketidakstabilan dalam sistem ekonomi. Lebih jauh lagi Enzler, Conrad dan Johnson (dalam Chapra, 1996) menemukan bukti bahwa misalocation of capital stock telah terjadi di Amerika Serikat, negara yang sangat mengagungkan suku bunga sebagai alat untuk melakukan indirect screening mecanism . Permasalahan menjadi semakin rumit dan..komplek ketika krisis menerpa perekonomian. Ternyata, sistem bunga merupakan sebab munculnya krisis, bahkan memperparah dan menjadikannya multidimensi. Perekonomian telah kehilangan stabilitas sebagaimana hilangnya stabilitas pemakan riba. "Orang-orang yang makan(mengambil) riba tidak kuat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila" (Al-Baqorah : 275).
Fondasi perbankan yang mengandalkan instrumen bunga tidak mampu menyangga beban berat bangunan sistem ribawi. Konsep suku bunga ini pada dasarnya telah dilarang sejak lebih dari empat belay abad yang lalu, bahkan oleh syariah-syariah agama sebelumnya yang diyakini oleh Yahudi dan Nashara, yang dikenal dengan istilah riba. Akan tetapi seiring dengan perkembangan dunia ekonomi, riba bukan lagi sebagai hal yang dilarang bahkan dianggap sebagai metode pendorong perkembangan ekonomi itu sendiri.  
Penafsiran uang sebagai komoditi ternyata pada tatanan implikasinya telah menyimpang, ketika dia difungsikan sebagai intrumen intermediasi pendorong ekonomi melalui suku bunga. Penetapan suku bunga, ternyata justru menimbulkan ketidakadilan, karena justru menjadi penghambat pembangunan ekonomi itu sendiri. Praktik membungakan uang dapat dilakukan oleh siapapun, baik secara perorangan maupun melalui lembaga keuangan.
Operasi perbankan konvensional sebagian besar ditentukan oleh kemampuannya dalam menghimpun dana masyarakat melalui pelayanan dan suku bunga yang menarik. Suatu tingkat bunga simpanan dikatakan menarik apabila lebih tinggi dari inflasi, karena pada tingkat bunga yang lebih rendah, dana yang disimpan nilainya akan habis dikikis oleh inflasi. Selain itu, menarik apabila tingkat bunga riil lebih tinggi dari tingkat bunga di luar negeri.
Dalam sistem devisa bebas, pada tingkat bunga yang lebih rendah di dalam negeri, dana-dana besar akan lebih menguntungkan jika disimpan/diinvestasikan di luar negeri. Terakhir, tingkat bunga menarik ketika lebih bersaing di dalam negeri, sehingga para penyimpan dana akan memilih bank yang paling tinggi dalam menawarkan tingkat bunga simpanannya dan yang menawarkan berbagai bonus dan hadiah. Dalam teori ekonomi makro, upaya mendorong pertumbuhan ekonomi melalui mekanisme bunga sudah menjadi bagian dari sistem ekonomi itu sendiri.
Pada saat memilih mekanisme kebijakan moneter melalui suku bunga akan memposisikan pemerintah selalu dihadapkan pada situasi dilematis dan kontradiktif (Karnaen, 2002). Dikatakan dilematis, karena untuk memacu kegiatan ekonomi biasanya diperlukan kebijaksanaan uang longgar (easy money policy) dengan menambah pasokan kredit perbankan, melonggarkan masuknya investasi asing dan pinjaman luar negeri.
Pada sisi lain kebijakan ini dapat mengakibatkan bertambahnya jumlah uang yang beredar, sementara pada sektor produksi terjadi time lag untuk mampu menghasilkan barang dengan segera, sehingga dapat menaikan tingkat harga (inflasi). Untuk menurunkan kembali tingkat inflasi itu biasanya diperlukan kebijaksanaan uang ketat (tight money policy) dengan mengurangi pasokan kredit perbankan. Sebaliknya, kebijakan ini dapat mengakibatkan lesunya kegiatan ekonomi, karena sektor produksi menjadi korban dengan rendahnya tingkat investasi. Permasalahan dilematisnya adalah seberapa ketat dan seberapa longgar ketepatan kebijaksanaan itu diterapkan untuk memacu kegiatan ekonomi tanpa menimbulkan gejolak harga-harga adalah masalah pelik yang selama ini dihadapi oleh pemerintah.
Meskipun pada dasarnya inflasi sendiri sebenarnya juga bisa disebabkan juga oleh adanya ketidakseimbangan di sektor riil, seperti hambatan produksi karena inefisiensi, melonjaknya permintaan melebihi pasokan, kegagalan panen karena bencana banjir/ kekeringan, hambatan impor untuk proteksi produksi dalam negeri, dan lain-lain. Paling tidak kebijakan ini -meskipun tidak mutlak- justru dapat menimbulkan inflasi itu sendiri.
Tentunya larangan dan madharat bunga tidak hanya berdimensi pada sisi vertikal yang berkaitan hubungan antara Allah dengan makhluk-Nya. Pada sisi lain ternyata hikmah larangan dan madharat tersebut mempunyai dimensi horizontal yang berkaitan dengan tatanan hidup masyarakat secara komprehensif. Berdasarkan kenyataan ini, ternyata Allah menunjukkan betapa indah dan sempurnanya Islam dengan berbagai sistem yang ada di dalamnya, semuanya mempunyai kejelasan landasan dan mekanisme pada setiap sisinya.
Dari sisi ekonomi suku bunga bisa menimbulkan dampak inflatoir. Ketidakadilan bunga dapat ditunjukkan pada sistemnya yang bersifat cost concept. Hal ini disebabkan karena salah satu elemen dari penentuan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi pula harga yang akan ditetapkan atas suatu barang, karena dunia industri yang melakukan investasinya dengan meminjam dari dunia perbankan yang berarti pula akan menambah biaya produksinya.
Adapun dampak sosial kemasyarakatan bunga merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para pengambil bunga menggunakan uangnya untuk memerintahkan orang lain agar berusaha dan mengembalikan dengan tambahan jumlah tertentu. Masalahnya adalah siapa yang dapat menjamin bahwa usaha yang akan dilakukan nantinya akan mendapat keuntungan sesuai dengan persent: bunga yang telah ditetapkan. Setiap orang, apalagi yang beragama, tahu bahwa tidak bisa memastikan apa yang akan terjadi besok atau kemudian, sehingga hanya ada tiga kemungkinan dalam berusaha : positive return, no return dan negative return. Padahal dengan menetapkan bunga, sudah dipastikan bahwa usaha yang akan dikelola pasti beruntung.
Sebaliknya, bagi bank sendiri bunga simpanan tetap harus diberikan, meskipun tidak ada (rendahnya) pembayaran kredit beserta bunganya. Pada akhirnya karena keterpaksaan, bank harus tetap beroperasi meskipun mengalami negative spread. Ketidakadilan sosial sistem bunga dapat pula dilihat dari dampaknya terhadap ketimpangan kekayaan. Sistem bunga mengharuskan adanya jaminan (collateral) dalam pinjaman, sehingga hanya orang yang memiliki jaminan lah yang dapat menggunakan fasilitas pinjaman. Sementara itu, yang memiliki jaminan hanyalah sebagian kecil kelompok masyarakat, sedangkan sebagian besar kelompok masyarakat tidak dapat memanfaatkan fasilitas pinjaman karena tidak adanya jaminan.
Padahal simpanan di bank merupakan hasil kumulatif dari masyarakat lu gs. Fenomenafrom everybody to somebody inilah yang semakin memperlebar jurang ketimpangan kekayaan. Secara ekstrim, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa sistem bunga lebih zalim daripada judi, lebih menzalimi kaum lemah atau miskin. Dalam perjudian, orang yang menang dapat mengambil harta dari orang yang kaya atau mungkin juga miskin.
Adapun bunga, dia mengambil tambahan dari orang yang membutuhkan uang (pinjam). Padahal peminjam dana cenderung orang yang membutuhkan, yang dalam istilah bahasa dinamakan miskin (fakir). Dalam hubungannya untuk mendorong investasi, keterbatasan bunga adalah tidak mampu menghasilkan full potential. Sebagai contoh adalah dengan tingkat bunga x persen, investasi dari dana yang dipinjam hanya menghasilkan sebesar x persen marginal efficiency of capital (MEC).
Selanjutnya investasi ini secara tidak langsung menunjukkan MEC lebih rendah dari x persen jika tingkat bunga masih sebesar x persen dan investasi selanjutnya akan menambah biaya bunga lebih daripada laba. Sebaliknya, investasi yang dilakukan pada bank yang berbasis pada penyertaan (bagi hasil) dapat menghasilkan MEC nol, sebab laba akan dibagikan berdasarkan rasio bagi hasil antara bank dengan nasabah (enterpreneurs). Nasabah dan enterpreneurs akan memperoleh laba positif sampai dengan MEC nol karena tidak adanya biaya bunga. Hal ini akan berpengaruh positif pada penyerapan tenaga kerja, output, pertumbuhan dan pembangunan ekonomi (Abul Hasan, 1991).


C.    Posisi, Peluang dan Tantangan Bank Syariah Dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia
Meski mengalami gelombang pasang-surut, sistem dan praktik ekonomi syariah — khususnya perbankan syariah- mulai tumbuh dan berkembang kembali di Indonesia sejak satu dekade terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa sistem ekonomi Islami mulai mendapatkan kembali tempatnya di hati masyarakat Indonesia. Mulai maraknya kajiankajian ilmiah dan perkembangan ekonomi Islami tidak terlepas dari dua hal utama.
Pertama, keinginan masyarakat muslim Indonesia yang mayoritas untuk menjalankan ajaran agama secara menyeluruh (kaffah ), termasuk dalam aktifitas ekonomi yang sesuai. Kedua, krisis global yang merambah ke dalam negeri telah merusakkan sendisendi ekonomi negara, sehingga memerlukan sistem alternatif sebagai solusi pemecahan masalah-masalah perekonomian. Ekonomi konvensional (kapitalis, sosialis atau campuran keduanya) dengan berbagai postulat yang dimiliki, ternyata tidak mampu memecahkan permasalahan ekonomi dan mengangkat bangsa Indonesia dari keterpurukan.
Pada nisi lain, sistem ekonomi islami yang dimotori oleh perbankan syariah telah menunjukkan stabilitas dan daya tahan dalam menghadapi gejolak krisis. Pertumbuhan perbankan syariah yang semakin pesat dalam beberapa tahun terakhir ini menunjukkan bahwa sistem ekonomi yang mengedepankan keadilan dan kesejahteraan mulai mendapatkan posisi dalam hati masyarakat Indonesia. Perkembangan perbankan syariah yang pesat ini merupakan peluang yang besar bagi pertumbuhan ekonomi sebagai alternatif dari kegagalan sistem ekonomi konvensional. Berkaitan dengan prospek bank syariah Indonesia ke depan terdapat beberapa faktor pendukung terhadap pengembangan perbankan syariah. Pertama, telah dikeluarkannya beberapa landasan hukum dan regulasi pendukung perkembangan bank syariah. Undang-undang perbankan syariah dimulai dengan UU No.7/ 1992 yang disempurnakan dengan UU No.10/1998.
Landasan hukum ini semakin kuat dengan regulasi pendukung dengan diterbitkannya berberapa SK Direksi Bank Indonesia berkenaan dengan peraturan dan ketentuan teknis operasional dalam perbankan syariah, termasuk sistem akuntansi melalui PSAK No. 59 dan PAPSI tahun 2003. Sementara lain, infrastruktur seperti pasar keuangan syariah dan institusi keuangan syariah lainnya mulai bermunculan. Dewasa ini Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS) memiliki piranti Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI), Investasi Mudharabah Antarbank Syariah (IMAS) dan Obligasi Syariah.
Dalam rangka memperkuat produk hukum secara syariah, MUI memiliki Dewan Pengawas Syariah yang bertugas menghasilkan dan mengawasi agar produk dan proses kenerja perbankan syariah sesuai dalam koridor syariah. Bahkan secara institusi, MUI sebagai cumber pijakan hukum dalam beragama pada akhir tahun 2003 telah memfatwakan bahwa bunga bank adalah haram. Adanya Cetak Biru Perbankan Syariah —yang belakangan merupakan embrio dari Arsitektur Perbankan Indonesiasemakin memperjelas misi, visi dan sasaran pengembangan perbankan syariah baik dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Dengan adanya beberapa landasan hukum dan infrastruktur tersebut, maka secara yuridis formal tidak ada kendala dalam oprerasionalisasi bank syariah.
Kedua, perbankan syariah menekankan pada prinsip keadilan dengan sistem bagi hasil (profit and loss sharing). Pengalokasian cumber dana melalui mekanisme penentuan rasio bagi hasil antara penabung, bank dan pengusaha akan lebih rasional dan efisien dibandingkan dengan sistem bunga. Mekanisme bagi hasil menjadikan distribusi lebih merata dan adil karena adanya aspek yang berkaitan dengan bagi resiko, artinya masingmasing pihak akan sama-sama menanggung resiko. Pemilik modal dapat mendistribusikan resiko melalui pembagian manajemen dan utang dalam bentuk bergabung dengan bank. Sementara pemilik tenaga atau keahlian tidak dapat membagikan tenaga atau keahliannya dengan pemilik modal.
Masing-masing pihak akan berpartisipasi dalam risiko kerugian, pemilik modal menanggung risiko kerugian modalnya sedangkan pihak pelaksana proyek mengalami kerugian tenaga atau biaya tenaga kerja dan waktu yang telah dikeluarkan. Hal inilah yang menunjukkan operasionalisasi perbankan syariah senantiasa mengedepankan keadilan dalam distribusi pendapatan, sehingga sistem bagi hasil tidak hanya mendatangkan berkah tapi juga tetap membuka peluang bisnis dalam ketidakpastian ekonomi. Pada saat tingkat bunga sangat tinggi banyak bank konvensional terkena negative.
Pada sisi lain, perbankan syariah masih tetap beroperasi dengan tingkat keuntungan normal sesuai dengan sektor riil. Ketiga, sistem bank syariah lebih memungkinkan keberagaman produk dalam operasional dibandingkan bank konvensional. Dengan struktur masyarakat religius muslim mayoritas, budaya kebersamaan dan gotong royong, kekayaan sumber daya alam yang melimpah serta banyaknya industri kecil dan menengah (UKM), semakin membuka lebar peluang bank syariah di Indonesia. Sektor agraris dan UKM ini, meskipun banyak diabaikan, ternyata pada saat krisis ekonomi menimpa perekonomian Indonesia keduanya masih mampu bertahan.
Sektor agraris merupakan sumber kehidupan utama bagi masyarakat yang berpenduduk lebih dari 210 juta jiwa ini. Perbankan syariah memiliki peluang luas dengan produknya yang menjangkau sektor agraris seperti salam dan istisna. Daya tahan UKM dan kemampuannya sebagai sumber devisa alternatif yang besar menunjukkan aktifitas perekonomian riil masih berjalan sesuai dengan kenyataan potensi ekonomi yang ada. Keempat, dalam mekanisme pemasaran bank syariah memberikan peluang ke depan yang cukup potensial karena sesuai dengan market driven. Penelitian Bank Indonesia tentang tahun 2000 tentang persepsi, preferensi clan permintaan masyarakat terhadap produk dan jasa syariah di Indonesia menunjukkan peluang yang cukup besar.
Hasil kesimpulan penelitian BI pada tahun 2000 tentang potensi, preferensi dan perilaku masyarakat terhadap bank syariah di enam propinsi dengan rata-rata persentase muslim 97%, menunjukkan bahwa rata-rata 42% masyarakat memiliki persepsi bahwa bunga bertentangan dengan ajaran agama, meskipun yang memahami produk dan manfaat perbankan syariah rata-rata hanya 11%. Kesimpulan penting atas penelitian BI tersebut adalah masih banyak masyarakat Indonesia yang merindukan sistem bank yang sesuai dengan syariah Islam. Artinya, pengembangan bank syariah berdasarkan emotional benefit masih cukup tinggi untuk pengembangan jaringan (networking). Kelima, dalam menghadapi ketidakpastian dan ketidakstabilan dunia usaha dan perekonomian, ternyata bank syariah mampu menunjukkan daya tahan (viability) yang kuat bahkan tetap beroperasi mendukung pertumbuhan ekonomi.
 Berdasarkan data Statistik Perbankan Syariah menunjukkan bahwa bahwa perbankan syariah masih stabil dalam menghadapi gejolak krisis. Sampai dengan periode Desember 2003, kredit macet (non-performing loanINPL) bank syariah hanya 2,34 % dibandingkan total perbankan nasional yang masih mencapai 8,2 % meskipun kredit macetnya banyak yang telah dialihkan pada BPPN. Sedangkan peranan bank syariah dalam mendorong pertumbuhan sektor riil dapat terl ihat ratio pinjaman (loan to deposit ratio/LDR) sebesar 109,5 % dibandingkan total perbankan nasional yang hanya 86,4 %. Komposisi penggunaan dana perbankan syariah juga menunjukkan bahwa amanah dana simpanan masyarakat benarbenar disalurkan ke sektor riil dengan indikator bahwa 73 % untuk pembiayaan, 25 % ke BI dan 3 penempatan pada bank lain.
Bukti empiris ini menunjukkan bahwa ternyata perbankan syariah dapat survive di tengah ketidakpastian ekonomi modern dan mempunyai kontribusi besar dalam pengembangan sektor riil. Artinya, pertumbuhan moneter islami terkait dengan pertumbuhan sektor riil. Dengan adanya keunggulan, potensi dan prospek yang cukup besar, tidaklah secara otomatis menjadikan bank syariah akan menjadi lembaga keuangan alternatif utama. Meskipun mampu bertahan dalam menghadapi gejolak krisis, dalam usianya yang relatif muda tentunya masih banyak kelemahan dan kekurangan dalam operasionalisasi bank syariah. Masih adanya kekurangan dan kelemahan tersebut justru menjadi cambuk dan tantangan bagi pengembangan bank syariah ke depan. Pertama, masih sedikitnya jumlah kelembagaan, kantor dan jaringan bank syariah yang beroperasi di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini sangat ironis apabila dibandingkan jumlah mayoritas penduduk Islam di Indonesia dan market driven yang cukup potensial.
Sampai dengan Desember 2003, pangsa pasar perbankan syariah ini masih relatif kecil sekitar 1,4 %, dengan jumlah bank umum 2 dengan kantor operasi dan cabang sejumlah 94, kantor cabang pembantu 8 buah dan kantor kas 56. Adapun bank umum yang membuka unit syariah sebanyak 8 bank dengan kantor operasi dan cabang sebanyak 48 bank. Sedangkan BPRS yang tersebar sejumlah 84 BPRS. Masih sedikitnya bank syariah ini dapat dimaklumi karena usianya yang relatif muda.
Tapi dengan dikeluarkannya landasan hukum dan berbagai regulasi pendukung serta besarnya market driven yang potensial dari masyarakat muslim Indonesia dimana masih banyak (42 %) masyarakat muslim yang mengganggap bahwa bunga bank adalah haram. Sedikitnya jumlah kantor dan jaringan bank syariah berkonsekuensi pula terhadap rendahnya share assets bank syariah. Kontribusi aset bank syariah hanya yang dimiliki oleh bank syariah hanya Rp 7,86 trilyun atau 0,73 0/e terhadap total asset perbankan nasional. Sementara itu, dana deposito Rp 3,48 trilyun atau 0,45 % dari total dana deposito perbankan nasional, pembiayaan Rp 5,53 trilyun atau 1.33 % dari total pembiayaan perbankan nasional.
Adanya fatwa MUI tentang haramnya bunga bank mestinya direspon oleh masyarakat untuk beralih kepada produk perbankan syariah. Pihak bank syariah sendiri harus mampu menampung migrasi dana masyarakat dari bank konvensional. Artinya, dengan share yang masih rendah sementara peluang terbuka lebar akan semakin membuka peluang bagi pebisnis bank untuk melebarkan sayap usaha alternatif guna mempercepat akselerasi pertumbuhan bank syariah selain kesiapan dalam menangani masalah likuiditas. Kedua, tingkat pengetahuan masyarakat tentang sistem dan manfaat perbankan syariah masih rendah. Penelitian BI menunjukkan bahwa masyarakat yang tahu tentang manfaat bank syariah hanya 11 %. Masih sedikitnya pengetahuan tentang manfaat bank syariah menunjukkan bahwa masyarakat belum memahami konsep bank syariah baik dalam produk maupun mekanisme operasionalisasi. Berkaitan dengan pengelolaan dana pihak ketiga, bank konvensional terlanjur menjadi standar ukuran dalam sistem perbankan nasional, mengakibatkan pula suku bunga sebagai benchmark dalam setiap investasi.
Masyarakat akan melihat bahwa pada saat krisis, kontribusi sektor riil kecil, sehingga keuntungan dari tabungan juga kecil. Dalam sistem ekonomi islami, tingkat keuntungan sesuai dengan real return. Artinya, meskipun kondisi krisis. selama investasi sektor rid dikelola secara profitable dengan memperhitungkan risk return melalui anal isis rasional is ekonomis, maka keuntungan dari tabungan/deposito akan sesuai dengan keuntungan ri i I dalam pengelolaan dana. Sebagian masyarakat masih mempunyai persepsi bahwa bank dan lembaga keuangan syariah adalah lembaga sosial untuk membantu umat semata. Fungsi sosial memang bisa dilakukan ketika di sana terdapat yordul hasn't, yaitu pinjaman yang sifatnya membantu, tapi harus benar-benar diarahkan kepada masyarakat yang sangat membutuhkan.
Pada sisi lain, masyarakat menganggap bank dan lembaga keuangan syariah adalah sistem bagi hasil yang semuanya harus mudharabah, sehingga besarnya bagi hasil harus lebih besar dari bunga dan dibayar setiap tahun seperti deviden. Masyarakat juga menganggap bahwa bank ikut memiliki perusahaan nasabah sehingga turut campur dalam manajemen. Rendahnya kesadaran masyarakat akan sistem dan manfaat bank syariah ini diakibatkan karena usia bank syariah yang masih relatif muda dan belum gencarnya sosialisasi sistem bank syariah pada seluruh lapisan masyarakat.
Peran serta dari semua pihak yang terkait (bank syariah, pemerintah melalui otoritas moneter, institusi pendidikan, ulama dan pebisnis) dalam mensosialisasikan produk, sistem dan manfaat bank syariah merupakan langkah strategic dalam membangan knowledge masyarakat. Ketiga, sistem pelayanan bank dan lembaga keuangan syariah yang belum optimal. Sedikitnya produk dan jaringan bank syariah mengakibatkan masyarakat kurang melirik bank syariah. Tantangan semakin berat ketika tingkat pengetahuan operator bank syariah yang masih rendah terhadap sistem bank syariah itu sendiri.
Dalam dunia modern yang serba praktis menuntut masyarakat mendapatkan berbagai fasilitas kemudahan dalam memenuhi kebutuhannya, seperti kartu kredit, kartu debit dan pelayanan internet banking. Sistem perhitungan yang terkesan lebih rumit dan berbelit-belit akan merupakan tantangan berat bagi bank syariah.
Sistem perhitungan bank syariah bukanlah sistem bunga –yang memang memudahkan dalam analisis perhitungan melalui sistem fixed interest rate-, tapi pendekatannya lebih kepada transparansi dan keadilan dalam pembagian pendapatan. Pelayanan bank syariah termasuk pembinaan manajemen keuangan, khususnya nasabah, merupakan tarbiyah internal bank syariah kepada nasabahnya. Untuk itu diperlukan sumberdaya manusia operator bank yang benar-benar mengerti produk bank syariah beserta segala hukum yang terkait dengannya dan manajemen pengelolaan keuangan yang tidak melanggar syariah islamiyyah.
Pengembangan produk dan pelayanan jaringan bank syariah dengan tetap mengedepankan prinsip syariah merupakan keharusan dalam menghadapi dinamika masyarakat modern yang semakin pesat. Keempat, kesulitan bank syariah berkenaan dengan pengelolaan likuiditas dana. Dalam pengelolaan likuiditas antar bank dan lembaga keuangan lainnya, bank syariah harus mampu menyediakan sarana yang memudahkan likuiditas dalam bentuk instrumen pasar uang syariah. Diterbitkannya Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) dan Investasi Mudharabah Antar-Bank Syariah (IMAS) dengan imbalan yang besarnya merujuk kepada nilai bagi hasil bank syariah, adalah upaya menjembatani masalah likuiditas. Adsapun berkaitan dengan pengelolaan likuiditas internal bank syariah, dominasi sistem murabahah tidak sesuai dengan `ruh' ideal bank syariah yang mengedepankan sistem bagi hasil.
Hampir semua perbankan syariah (71,5%) didominasi oleh produk pembiayaan murabahah, padahal dana pihak ketiga mayoritas berasal dari tabungan dan deposito mudharabah (88,8%). Dominasi sistem murabahah terjadi karena relatif lebih mudah dan sederhana dalam perhitungan baik bagi bank maupun masyarakat yang selama ini terbiasa dengan sistem bunga. Pada sisi lain kecenderungan sistem murabahah juga terjadi karena pola masyarakat Indonesia yang masih konsumtif, khususnya barang nonproduktif. Tantangan ini semakin berat, karena sistem bank syariah yang (dan memang seharusnya) real cost bussines, apalagi menghadapi bank konvensional dengan suku bunga rendah.
Dengan skala usaha yang relatif kecil tentunya biaya operasional per unit semakin besar, sehingga jika dibandingkan dengan suku bunga akan jauh lebih besar. Prinsip efisiensi dan skala ekonomis akan sulit diterapkan dalam operasionalisasi bank syariah, sehingga komitmen –khususnya- umat Islam dalam menggunakan produk bank syariah menjadi suatu `keharusan' untuk membesarkan bank syariah agar ke depan dapat beroperasi secara efisien..
Kurangnya pembiayaan dengan sistem bagi hasil sistem mudharabah (14,4%) dan musyarakah (7,53) adalah akibat asymmetric information, yaitu kecenderungan salah satu pihak (nasabah bank) mengusasi informasi lebih banyak untuk bersikap tidak jujur. Oleh sebab itu, perlu diperhatikan incentive compatible constrains, yaitu batasan-batasan untuk memberikan insentif bagi nasabah yang jujur.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A.       Kesimpulan
Perkembangan bank syariah baik volume usaha, jaringan maupun ragam produk yang dihasilkan dalam dekade terakhir ini menunjukkan bahwa implementasi perekonomian yang mengedepankan keadilan dan kesejahteraan telah mendapatkan tempat dalam perekonomian modern. Adanya fleksibilitas dan keberagaman produk yang dihasilkan membuka lebar peluang pengembangan bank syariah.
Mekanisme bagi hasil bank syariah menunjukkan keadilan dan kewajiban bisnis, karena pembayaran akan disesuaikan dengan keuntungan riil yang diperoleh. Demikian pula resiko ditanggung bersama sesuai dengan peran dan partisipasi yang diberikan. Secara lebih jauh sistem bagi hasil akan memberikan peluang kemitraan usaha karena penyaluran dana akan dikaitkan dengan sektor riil dengan disertai pembinaan dan pengawasan dalam proses manajemen oprasional.
Pertumbuhan sektor usaha kecil akan terbuka lebar karena dasar pembiayaan disesuaikan dengan kelayakan usaha bukan jaminan. Dengan segala kelebihan dan potensi yang dimilikinya, bank syariah memiliki peluang jangka panjang yang prospektif bagi pembagungan ekonomi Indonesia pada khususnya dan pengembangan sistem ekonomi pada umumnya. Memutar arah paradigma lama sistem operasinal perbankan yang mengandalkan bunga menjadi nonbunga, bukanlah pekerjaan mudah.
 Sebagai komunitas perbankan yang relatif baru, peran serta semua pihak dan institusi menjadi penting guna pengembangan perbankan syariah ke depan. Pemerintah dan bank sentral harus mampu menyediakan produk hukum yang mendukung pengembangan perbankan syariah. Institusi pendidikan mampu mengeluarkan output sumber daya manusia yang memiliki kualifikasi ideal dan kompetitif. Ulama melalui lembaga formal dan informalnya harus senantiasa mengkaji dan mensosialisasikan produk perbankan syariah agar tetap dalam koridor hukum svara'. Masyarakat luas harus disadarkan bahwa bank syariah adalah alternatif terbaik dalam menstabilkan dan menjamin perekonomian yang berkeadilan. Wallahu a'lamu bisshowab, wa laa haula wa Ina quwwata iliabillah.
B.     Saran
Sebagai masyarakat muslim, hendaklah kita dapat memilih dan membedakan pilihan yang tepat, benar serta halal bagi kehidupan kita. Dengan menggunakan bank syariah yang jauh dari unsur riba, selain akan mendapatkan keuntungan dalam dunia usaha, kita juga akan mendapatkan pahala karena telah menjauhi salah satu larangan Alloh SWT. Berupa praktek riba yang dilakukan bank – bank konvensional.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar