BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Bank adalah lembaga perantara keuangan
(intermediary financial)dari pihak yang surplus dana kepada pihak yang defisit
dana. Pihak yang surplus dana mengamanahkan dananya kepada bank agar disimpan
atau disalurkan dengan baik. Sebagai lembaga perantara, bank harus melakukan
mekanisme pengumpulan dana (equity financing) maupun penyaluran dana
(debt,financing)secara seimbang sesuai dengan amanah dengan tetap mengedepankan
prinsip keadilan.
Bank sebagai lembaga intermediasi dalam
pengelolaan dana, mempunyai posisi strategis dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi. Peran intermediasi bank merupakan amanah yang harus dijalankan dengan
tetap mengedepankan prinsip keadilan. Dalam perekonomian modern, penggunaan
bunga senantiasa dikaitkan dengan operasionalisasi sistem perbankan. Karena
interdependensinya dengan berbagai variabel ekonomi lainnya, maka setiap
gejolak yang terjadi pada bunga akan mengakibatkan pula ketidakstabilan
ekonomi.
Lahirnya bank-bank syariah dalam satu
dekade terakhir adalah wujud komitmen masyarakat untuk menerapkan prinsip
syariah dalam mewujudkan kesetaraan, kejujuran dan keadilan melalui sistem bagi
hasil. Pada saat bank konvensional tidak mampu bertahan dalam menghadapi
gejolak krisis, justru bank syariah memiliki daya tahan yang tangguh dan tetap
mampu mendukung sektor rill. Wujud kontribusi nyata bank syariah -meskipun
belum optimal- merupakan potensi besar bagi pengembangan sistem keuangan
modern. Peran serta semua pihak dan pelaku ekonomi terkait merupakan keharusan
yang segera direalisasikan untuk mewujudkan sistem keuangan alternatif dalam
memecahkan masalah ekonomi. Kata kunci : bank, bunga,
B.
Rumusan
Masalah
Dari
latar belakang masalah diatas, saya menyimpulkan bahwa rumusan masalahnya
adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana sesungguhnya peran bank syariah di Indonesia?
2.
Apa hubungan bunga dalam sistem
perbankan dan ketidakadilan
ekonomi ?
3.Bagaimana
Posisi, Peluang dan Tantangan Bank Syariah Dalam
Pembangunan Ekonomi di Indonesia
C. Batasan Masalah
Dalam
makalah ini, saya hanya membatasi satu permasalah saja yaitu “Manfa’at Bank
Syariah Bagi kehidupan ekonomi Masyarakat.”
D.
Tujuan
Penulisan
Pembuatan
makalah ini bertujuan untuk mengetahui :
1. Dapat
mendeskripsikan tentang peranan bank syariah pada
masyarakat
2.
Mengetahui hubungan bunga dalam
sistem perbankan dan
ketidakadilan ekonomi
3.
Memahami posisi, peluang dan tantangan bank syariah dalam
pembangunan ekonomi di Indonesia
E.
Metode
Penulisan
Metode
yang saya gunakan untuk menyusun makalah ini
adalah dengan menggunakan teknik pengumpulan data studi pustaka yang di
peroleh melalui studi kepustakaan yaitu pengumpulan data dari searching
internet.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Peranan
Bank Syariah
Dalam
Pedoman Akuntansi Perbankan Syari’ah Indonesia (PAPSI) tahun 2003 bank syari’ah
mempunyai Fungsi sebagai berikut :
1. Manajer
Investasi
Bank Syari’ah dapat
mengelola investasi atas dana nasabah dengan menggunakan akad Mudharabah atau
sebagai agen investasi.
2. Investor
Bank Syaria’ah dapan
menginvestasikan dana yang dimilikinya maupun dana nasabah yang dipercayakan
kepadanya dengan meggunakan alat investasi yang sesuai dengan syari’ah.
Keuntungan yang diperoleh dibagi secara proporsional sesuai nisbah yang
disepakati antara bank dan pemilik dana.
3. Penyedia
jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran
Bank syariah dapat
melakukan kegiatan jasa – jasa layanan perbankan seperti bank non syariah
sepanjang tidak bertentangan dengan prinsif syariah.
4. Pengembangan
fungsi sosial
Bank syariah dapat memberikan
pelayanan sosial dalam bentuk pengelolaan dana zakat, infaq, shadaqah, serta
pinjaman kebajikan ( qardhul hasan) sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Tapi lebih dari itu perbankan syariah juga memberikan
tanggung jawab kepada perkembangan ekonomi umat. Indonesia dengan jumlah
peduduk muslim yang besar ini secara ekonomi mereka adalah kalangan menegah
kebawah. Mereka membutuhkan penompang untuk mengembangkan taraf ekonomi mereka.
Tidak sebatas pada lebih kecilnya biaya bulanan dibandingkan dengan bank
konfensional.
Bank syariah secara khusus juga harus memjadikan
dirinya sebagai salah satu kesatuan sistem kekuatan ekonomi umat di Indonesia
dengan tidak meninggalkan nilai-nilai keberagaman pada masyarakat kita dengan
tetap memberikan pelayanan bagi siapapun sehingga bank syariah merupakan salah
satu syiar kearifan dalam islam yang berbasis pada kemudahan, kesantunan,
keadilan dan rahmat bagi semesta alam.
Bank syariah juga harus bisa mengembangkan sisten
Zakat secara lebih modern untuk peningkatan ekonomi umat secara lebih merata.
Intinya bahwa perbankan syariah ahrus terus melakukan inovasi-inovasif kreatif
dari sistem ekonomi syariah seperti: zakat, infak shodakoh secara lebih modern
yang selama ini belum terorganisir dan tersistem dalam kesatuan yang baik.
sesuai dengan perkembangan zaman sehingga bank syariah sebagai sistem kekuatan
perekonomian umat dan pemberdayaan ekonomi umat terwujud.
B.
Bunga
Dalam Sistem Perbankan dan Ketidakadilan Ekonomi
Evolusi perbankan dengan berbagai macam
produknya, telah memberikan warna tersendiri dalam dinamika perekonomian
modern. Dominasi sistem bunga dalam berbagai aktifitas perekonomian,
berkonsekuensi terhadap operasionalisasi perbankan dengan bunga sebagai instrumen
utamanya. Mekanisme bunga telah memberikan jarak dan memunculkan distorsi
sehingga menimbulkan ketidakterkaitan langsung (disconnection) antara sektor
finansial —yang berkembang sangat pesat dan fantastis di sate pihak- dengan
sektor riil yang secara nyata memberi nafas kehidupan masyarakat. Kondisi ini
akhirnya menimbulkan pertumbuhan ekonomi yang semu (buble economy). Keynes
(1936) mendefinisikan bunga sebagai persentase kelebihan sejumlah uang pada
perjanjian penyerahan di masa depan, misalnya sesudah setahun, terhadap harga
uang secara tunai atau kas jumlah uang termaksud.
Dengan demikian, bunga tersebut
merupakan tambahan yang diperoleh berdasarkan persentase pada jumlah uang
(modal) yang dipinjamkan yang ditentukan secara tetap pada awal transaksi tanpa
mempertimbangkan keadaan proyek di masa datang untung atau rugi. Padahal dalam
dunia nyata optimalisasi atas uang atau modal tergantung dari jenis usaha, lama
usaha, keadaan pasar beserta jaringannya, serta stabilitas politik, yang mana
akan memunculkan pula resiko kerugian, sehingga padanya diperlukan sharing.
Teori tentang bunga bukanlah berdasarkan teori ekonomi, tapi dari ilmu biologi
tentang perkembangan sel, yaitu Pt = Po (l+g)' yang kemudian diadopsikan dalam
ilmu keuangan modern menjadi FV = PV ". Dalam konsep time value of money,
nilai tambah uang pada masa yang akan datang (future value) tidak dapat
menjelaskan bagaimana seharusnya memaksimalkan dan meminimalkan penggunaan uang
(value added of money) sebagaimana ilmu keuangan yang selalu dikaitkan dengan
keuntungan dan resiko dalam mengoptimalkan laba.
Dalam teori ekonomi, uang merupakan
variabel yang volumenya ditentukan oleh actual spending demand, (MV=PT). Nilai
tambah uang terjadi jika dan hanya jika terdapat pemanfaatan secara ekonomis
dari penggunaan uang tersebut dalam sektor rii I (economic value of time)
Munculnya krisis keuangan, khususnya di Asia dimana salah satunya adalah akibat
tingginya laju suku bunga, telah membuka tabir gelap teori ekonomi konvensional
yang mendominasi segala aktifitas ekonomi.
Permasalahan mendasar yang
melatarbelakangi krisis di Asia ini diduga disebabkan adanya krisis kualitas
lembaga-lembaga keuangan yang dipengaruhi oleh penerapan suku bunga yang
ternyata gagal berfungsi sebagai alat indirect screening mecanism. Peringatan
tentang bahayanya suku bunga sebagai alat indirect screening mecanism pada
dasarnya telah dilakukan oleh para ekonom sebelum krisis muncul. Berbagai
literatur yang ditulis oleh para ekonom seperti Muslehudin (1974), Qureshi
(1979), Kahf (dalam Khursid, 1981), Siddigi (1981), Chapra (1985 dan 1996),
Allais (1993), Mills dan Presley (1997) serta Choudhury dan Mirakhor (1997)
tidak menyetujui perekonomian yang bertumpu pada suku bunga. Kebijakan suku
bunga akan menimbulkan misalokasi resources yang pada gilirannya cenderung akan
mengakibatkan irwrnik.
ketidakstabilan dalam sistem ekonomi. Lebih
jauh lagi Enzler, Conrad dan Johnson (dalam Chapra, 1996) menemukan bukti bahwa
misalocation of capital stock telah terjadi di Amerika Serikat, negara yang
sangat mengagungkan suku bunga sebagai alat untuk melakukan indirect screening
mecanism . Permasalahan menjadi semakin rumit dan..komplek ketika krisis
menerpa perekonomian. Ternyata, sistem bunga merupakan sebab munculnya krisis,
bahkan memperparah dan menjadikannya multidimensi. Perekonomian telah
kehilangan stabilitas sebagaimana hilangnya stabilitas pemakan riba.
"Orang-orang yang makan(mengambil) riba tidak kuat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila" (Al-Baqorah : 275).
Fondasi perbankan yang mengandalkan
instrumen bunga tidak mampu menyangga beban berat bangunan sistem ribawi.
Konsep suku bunga ini pada dasarnya telah dilarang sejak lebih dari empat belay
abad yang lalu, bahkan oleh syariah-syariah agama sebelumnya yang diyakini oleh
Yahudi dan Nashara, yang dikenal dengan istilah riba. Akan tetapi seiring
dengan perkembangan dunia ekonomi, riba bukan lagi sebagai hal yang dilarang
bahkan dianggap sebagai metode pendorong perkembangan ekonomi itu sendiri.
Penafsiran uang sebagai komoditi
ternyata pada tatanan implikasinya telah menyimpang, ketika dia difungsikan
sebagai intrumen intermediasi pendorong ekonomi melalui suku bunga. Penetapan
suku bunga, ternyata justru menimbulkan ketidakadilan, karena justru menjadi
penghambat pembangunan ekonomi itu sendiri. Praktik membungakan uang dapat
dilakukan oleh siapapun, baik secara perorangan maupun melalui lembaga
keuangan.
Operasi perbankan konvensional sebagian
besar ditentukan oleh kemampuannya dalam menghimpun dana masyarakat melalui
pelayanan dan suku bunga yang menarik. Suatu tingkat bunga simpanan dikatakan
menarik apabila lebih tinggi dari inflasi, karena pada tingkat bunga yang lebih
rendah, dana yang disimpan nilainya akan habis dikikis oleh inflasi. Selain
itu, menarik apabila tingkat bunga riil lebih tinggi dari tingkat bunga di luar
negeri.
Dalam sistem devisa bebas, pada tingkat
bunga yang lebih rendah di dalam negeri, dana-dana besar akan lebih
menguntungkan jika disimpan/diinvestasikan di luar negeri. Terakhir, tingkat
bunga menarik ketika lebih bersaing di dalam negeri, sehingga para penyimpan
dana akan memilih bank yang paling tinggi dalam menawarkan tingkat bunga
simpanannya dan yang menawarkan berbagai bonus dan hadiah. Dalam teori ekonomi
makro, upaya mendorong pertumbuhan ekonomi melalui mekanisme bunga sudah
menjadi bagian dari sistem ekonomi itu sendiri.
Pada saat memilih mekanisme kebijakan
moneter melalui suku bunga akan memposisikan pemerintah selalu dihadapkan pada
situasi dilematis dan kontradiktif (Karnaen, 2002). Dikatakan dilematis, karena
untuk memacu kegiatan ekonomi biasanya diperlukan kebijaksanaan uang longgar
(easy money policy) dengan menambah pasokan kredit perbankan, melonggarkan
masuknya investasi asing dan pinjaman luar negeri.
Pada sisi lain kebijakan ini dapat
mengakibatkan bertambahnya jumlah uang yang beredar, sementara pada sektor
produksi terjadi time lag untuk mampu menghasilkan barang dengan segera,
sehingga dapat menaikan tingkat harga (inflasi). Untuk menurunkan kembali
tingkat inflasi itu biasanya diperlukan kebijaksanaan uang ketat (tight money
policy) dengan mengurangi pasokan kredit perbankan. Sebaliknya, kebijakan ini
dapat mengakibatkan lesunya kegiatan ekonomi, karena sektor produksi menjadi
korban dengan rendahnya tingkat investasi. Permasalahan dilematisnya adalah
seberapa ketat dan seberapa longgar ketepatan kebijaksanaan itu diterapkan
untuk memacu kegiatan ekonomi tanpa menimbulkan gejolak harga-harga adalah
masalah pelik yang selama ini dihadapi oleh pemerintah.
Meskipun pada dasarnya inflasi sendiri
sebenarnya juga bisa disebabkan juga oleh adanya ketidakseimbangan di sektor
riil, seperti hambatan produksi karena inefisiensi, melonjaknya permintaan
melebihi pasokan, kegagalan panen karena bencana banjir/ kekeringan, hambatan
impor untuk proteksi produksi dalam negeri, dan lain-lain. Paling tidak
kebijakan ini -meskipun tidak mutlak- justru dapat menimbulkan inflasi itu
sendiri.
Tentunya larangan dan madharat bunga
tidak hanya berdimensi pada sisi vertikal yang berkaitan hubungan antara Allah
dengan makhluk-Nya. Pada sisi lain ternyata hikmah larangan dan madharat
tersebut mempunyai dimensi horizontal yang berkaitan dengan tatanan hidup
masyarakat secara komprehensif. Berdasarkan kenyataan ini, ternyata Allah
menunjukkan betapa indah dan sempurnanya Islam dengan berbagai sistem yang ada
di dalamnya, semuanya mempunyai kejelasan landasan dan mekanisme pada setiap
sisinya.
Dari sisi ekonomi suku bunga bisa
menimbulkan dampak inflatoir. Ketidakadilan bunga dapat ditunjukkan pada
sistemnya yang bersifat cost concept. Hal ini disebabkan karena salah satu
elemen dari penentuan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku bunga,
semakin tinggi pula harga yang akan ditetapkan atas suatu barang, karena dunia
industri yang melakukan investasinya dengan meminjam dari dunia perbankan yang
berarti pula akan menambah biaya produksinya.
Adapun dampak sosial kemasyarakatan
bunga merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para pengambil bunga
menggunakan uangnya untuk memerintahkan orang lain agar berusaha dan
mengembalikan dengan tambahan jumlah tertentu. Masalahnya adalah siapa yang
dapat menjamin bahwa usaha yang akan dilakukan nantinya akan mendapat
keuntungan sesuai dengan persent: bunga yang telah ditetapkan. Setiap orang,
apalagi yang beragama, tahu bahwa tidak bisa memastikan apa yang akan terjadi
besok atau kemudian, sehingga hanya ada tiga kemungkinan dalam berusaha :
positive return, no return dan negative return. Padahal dengan menetapkan
bunga, sudah dipastikan bahwa usaha yang akan dikelola pasti beruntung.
Sebaliknya, bagi bank sendiri bunga
simpanan tetap harus diberikan, meskipun tidak ada (rendahnya) pembayaran
kredit beserta bunganya. Pada akhirnya karena keterpaksaan, bank harus tetap
beroperasi meskipun mengalami negative spread. Ketidakadilan sosial sistem
bunga dapat pula dilihat dari dampaknya terhadap ketimpangan kekayaan. Sistem
bunga mengharuskan adanya jaminan (collateral) dalam pinjaman, sehingga hanya
orang yang memiliki jaminan lah yang dapat menggunakan fasilitas pinjaman.
Sementara itu, yang memiliki jaminan hanyalah sebagian kecil kelompok
masyarakat, sedangkan sebagian besar kelompok masyarakat tidak dapat
memanfaatkan fasilitas pinjaman karena tidak adanya jaminan.
Padahal simpanan di bank merupakan hasil
kumulatif dari masyarakat lu gs. Fenomenafrom everybody to somebody inilah yang
semakin memperlebar jurang ketimpangan kekayaan. Secara ekstrim, Ibnu Taimiyah
menyatakan bahwa sistem bunga lebih zalim daripada judi, lebih menzalimi kaum
lemah atau miskin. Dalam perjudian, orang yang menang dapat mengambil harta
dari orang yang kaya atau mungkin juga miskin.
Adapun bunga, dia mengambil tambahan
dari orang yang membutuhkan uang (pinjam). Padahal peminjam dana cenderung
orang yang membutuhkan, yang dalam istilah bahasa dinamakan miskin (fakir).
Dalam hubungannya untuk mendorong investasi, keterbatasan bunga adalah tidak
mampu menghasilkan full potential. Sebagai contoh adalah dengan tingkat bunga x
persen, investasi dari dana yang dipinjam hanya menghasilkan sebesar x persen
marginal efficiency of capital (MEC).
Selanjutnya investasi ini secara tidak
langsung menunjukkan MEC lebih rendah dari x persen jika tingkat bunga masih
sebesar x persen dan investasi selanjutnya akan menambah biaya bunga lebih
daripada laba. Sebaliknya, investasi yang dilakukan pada bank yang berbasis
pada penyertaan (bagi hasil) dapat menghasilkan MEC nol, sebab laba akan
dibagikan berdasarkan rasio bagi hasil antara bank dengan nasabah
(enterpreneurs). Nasabah dan enterpreneurs akan memperoleh laba positif sampai
dengan MEC nol karena tidak adanya biaya bunga. Hal ini akan berpengaruh
positif pada penyerapan tenaga kerja, output, pertumbuhan dan pembangunan
ekonomi (Abul Hasan, 1991).
C.
Posisi,
Peluang dan Tantangan Bank Syariah Dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia
Meski mengalami gelombang pasang-surut,
sistem dan praktik ekonomi syariah — khususnya perbankan syariah- mulai tumbuh
dan berkembang kembali di Indonesia sejak satu dekade terakhir. Hal ini
menunjukkan bahwa sistem ekonomi Islami mulai mendapatkan kembali tempatnya di
hati masyarakat Indonesia. Mulai maraknya kajiankajian ilmiah dan perkembangan
ekonomi Islami tidak terlepas dari dua hal utama.
Pertama, keinginan masyarakat muslim
Indonesia yang mayoritas untuk menjalankan ajaran agama secara menyeluruh
(kaffah ), termasuk dalam aktifitas ekonomi yang sesuai. Kedua, krisis global
yang merambah ke dalam negeri telah merusakkan sendisendi ekonomi negara,
sehingga memerlukan sistem alternatif sebagai solusi pemecahan masalah-masalah
perekonomian. Ekonomi konvensional (kapitalis, sosialis atau campuran keduanya)
dengan berbagai postulat yang dimiliki, ternyata tidak mampu memecahkan
permasalahan ekonomi dan mengangkat bangsa Indonesia dari keterpurukan.
Pada nisi lain, sistem ekonomi islami
yang dimotori oleh perbankan syariah telah menunjukkan stabilitas dan daya
tahan dalam menghadapi gejolak krisis. Pertumbuhan perbankan syariah yang
semakin pesat dalam beberapa tahun terakhir ini menunjukkan bahwa sistem
ekonomi yang mengedepankan keadilan dan kesejahteraan mulai mendapatkan posisi
dalam hati masyarakat Indonesia. Perkembangan perbankan syariah yang pesat ini
merupakan peluang yang besar bagi pertumbuhan ekonomi sebagai alternatif dari
kegagalan sistem ekonomi konvensional. Berkaitan dengan prospek bank syariah
Indonesia ke depan terdapat beberapa faktor pendukung terhadap pengembangan
perbankan syariah. Pertama, telah dikeluarkannya beberapa landasan hukum dan
regulasi pendukung perkembangan bank syariah. Undang-undang perbankan syariah
dimulai dengan UU No.7/ 1992 yang disempurnakan dengan UU No.10/1998.
Landasan hukum ini semakin kuat dengan
regulasi pendukung dengan diterbitkannya berberapa SK Direksi Bank Indonesia
berkenaan dengan peraturan dan ketentuan teknis operasional dalam perbankan
syariah, termasuk sistem akuntansi melalui PSAK No. 59 dan PAPSI tahun 2003.
Sementara lain, infrastruktur seperti pasar keuangan syariah dan institusi
keuangan syariah lainnya mulai bermunculan. Dewasa ini Pasar Uang Antar Bank
Syariah (PUAS) memiliki piranti Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI),
Investasi Mudharabah Antarbank Syariah (IMAS) dan Obligasi Syariah.
Dalam rangka memperkuat produk hukum
secara syariah, MUI memiliki Dewan Pengawas Syariah yang bertugas menghasilkan
dan mengawasi agar produk dan proses kenerja perbankan syariah sesuai dalam
koridor syariah. Bahkan secara institusi, MUI sebagai cumber pijakan hukum
dalam beragama pada akhir tahun 2003 telah memfatwakan bahwa bunga bank adalah
haram. Adanya Cetak Biru Perbankan Syariah —yang belakangan merupakan embrio
dari Arsitektur Perbankan Indonesiasemakin memperjelas misi, visi dan sasaran
pengembangan perbankan syariah baik dalam jangka pendek, menengah dan panjang.
Dengan adanya beberapa landasan hukum dan infrastruktur tersebut, maka secara
yuridis formal tidak ada kendala dalam oprerasionalisasi bank syariah.
Kedua, perbankan syariah menekankan pada
prinsip keadilan dengan sistem bagi hasil (profit and loss sharing). Pengalokasian
cumber dana melalui mekanisme penentuan rasio bagi hasil antara penabung, bank
dan pengusaha akan lebih rasional dan efisien dibandingkan dengan sistem bunga.
Mekanisme bagi hasil menjadikan distribusi lebih merata dan adil karena adanya
aspek yang berkaitan dengan bagi resiko, artinya masingmasing pihak akan
sama-sama menanggung resiko. Pemilik modal dapat mendistribusikan resiko
melalui pembagian manajemen dan utang dalam bentuk bergabung dengan bank.
Sementara pemilik tenaga atau keahlian tidak dapat membagikan tenaga atau
keahliannya dengan pemilik modal.
Masing-masing pihak akan berpartisipasi
dalam risiko kerugian, pemilik modal menanggung risiko kerugian modalnya
sedangkan pihak pelaksana proyek mengalami kerugian tenaga atau biaya tenaga
kerja dan waktu yang telah dikeluarkan. Hal inilah yang menunjukkan
operasionalisasi perbankan syariah senantiasa mengedepankan keadilan dalam
distribusi pendapatan, sehingga sistem bagi hasil tidak hanya mendatangkan
berkah tapi juga tetap membuka peluang bisnis dalam ketidakpastian ekonomi.
Pada saat tingkat bunga sangat tinggi banyak bank konvensional terkena
negative.
Pada sisi lain, perbankan syariah masih
tetap beroperasi dengan tingkat keuntungan normal sesuai dengan sektor riil.
Ketiga, sistem bank syariah lebih memungkinkan keberagaman produk dalam
operasional dibandingkan bank konvensional. Dengan struktur masyarakat religius
muslim mayoritas, budaya kebersamaan dan gotong royong, kekayaan sumber daya
alam yang melimpah serta banyaknya industri kecil dan menengah (UKM), semakin
membuka lebar peluang bank syariah di Indonesia. Sektor agraris dan UKM ini,
meskipun banyak diabaikan, ternyata pada saat krisis ekonomi menimpa
perekonomian Indonesia keduanya masih mampu bertahan.
Sektor agraris merupakan sumber
kehidupan utama bagi masyarakat yang berpenduduk lebih dari 210 juta jiwa ini.
Perbankan syariah memiliki peluang luas dengan produknya yang menjangkau sektor
agraris seperti salam dan istisna. Daya tahan UKM dan kemampuannya sebagai
sumber devisa alternatif yang besar menunjukkan aktifitas perekonomian riil
masih berjalan sesuai dengan kenyataan potensi ekonomi yang ada. Keempat, dalam
mekanisme pemasaran bank syariah memberikan peluang ke depan yang cukup
potensial karena sesuai dengan market driven. Penelitian Bank Indonesia tentang
tahun 2000 tentang persepsi, preferensi clan permintaan masyarakat terhadap
produk dan jasa syariah di Indonesia menunjukkan peluang yang cukup besar.
Hasil kesimpulan penelitian BI pada
tahun 2000 tentang potensi, preferensi dan perilaku masyarakat terhadap bank
syariah di enam propinsi dengan rata-rata persentase muslim 97%, menunjukkan
bahwa rata-rata 42% masyarakat memiliki persepsi bahwa bunga bertentangan
dengan ajaran agama, meskipun yang memahami produk dan manfaat perbankan
syariah rata-rata hanya 11%. Kesimpulan penting atas penelitian BI tersebut
adalah masih banyak masyarakat Indonesia yang merindukan sistem bank yang
sesuai dengan syariah Islam. Artinya, pengembangan bank syariah berdasarkan
emotional benefit masih cukup tinggi untuk pengembangan jaringan (networking).
Kelima, dalam menghadapi ketidakpastian dan ketidakstabilan dunia usaha dan
perekonomian, ternyata bank syariah mampu menunjukkan daya tahan (viability)
yang kuat bahkan tetap beroperasi mendukung pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan data Statistik Perbankan Syariah
menunjukkan bahwa bahwa perbankan syariah masih stabil dalam menghadapi gejolak
krisis. Sampai dengan periode Desember 2003, kredit macet (non-performing
loanINPL) bank syariah hanya 2,34 % dibandingkan total perbankan nasional yang
masih mencapai 8,2 % meskipun kredit macetnya banyak yang telah dialihkan pada
BPPN. Sedangkan peranan bank syariah dalam mendorong pertumbuhan sektor riil
dapat terl ihat ratio pinjaman (loan to deposit ratio/LDR) sebesar 109,5 %
dibandingkan total perbankan nasional yang hanya 86,4 %. Komposisi penggunaan
dana perbankan syariah juga menunjukkan bahwa amanah dana simpanan masyarakat
benarbenar disalurkan ke sektor riil dengan indikator bahwa 73 % untuk pembiayaan,
25 % ke BI dan 3 penempatan pada bank lain.
Bukti empiris ini menunjukkan bahwa
ternyata perbankan syariah dapat survive di tengah ketidakpastian ekonomi
modern dan mempunyai kontribusi besar dalam pengembangan sektor riil. Artinya,
pertumbuhan moneter islami terkait dengan pertumbuhan sektor riil. Dengan
adanya keunggulan, potensi dan prospek yang cukup besar, tidaklah secara
otomatis menjadikan bank syariah akan menjadi lembaga keuangan alternatif
utama. Meskipun mampu bertahan dalam menghadapi gejolak krisis, dalam usianya
yang relatif muda tentunya masih banyak kelemahan dan kekurangan dalam
operasionalisasi bank syariah. Masih adanya kekurangan dan kelemahan tersebut
justru menjadi cambuk dan tantangan bagi pengembangan bank syariah ke depan.
Pertama, masih sedikitnya jumlah kelembagaan, kantor dan jaringan bank syariah
yang beroperasi di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini sangat ironis apabila dibandingkan
jumlah mayoritas penduduk Islam di Indonesia dan market driven yang cukup
potensial.
Sampai dengan Desember 2003, pangsa
pasar perbankan syariah ini masih relatif kecil sekitar 1,4 %, dengan jumlah
bank umum 2 dengan kantor operasi dan cabang sejumlah 94, kantor cabang
pembantu 8 buah dan kantor kas 56. Adapun bank umum yang membuka unit syariah
sebanyak 8 bank dengan kantor operasi dan cabang sebanyak 48 bank. Sedangkan
BPRS yang tersebar sejumlah 84 BPRS. Masih sedikitnya bank syariah ini dapat
dimaklumi karena usianya yang relatif muda.
Tapi dengan dikeluarkannya landasan
hukum dan berbagai regulasi pendukung serta besarnya market driven yang
potensial dari masyarakat muslim Indonesia dimana masih banyak (42 %)
masyarakat muslim yang mengganggap bahwa bunga bank adalah haram. Sedikitnya
jumlah kantor dan jaringan bank syariah berkonsekuensi pula terhadap rendahnya
share assets bank syariah. Kontribusi aset bank syariah hanya yang dimiliki
oleh bank syariah hanya Rp 7,86 trilyun atau 0,73 0/e terhadap total asset
perbankan nasional. Sementara itu, dana deposito Rp 3,48 trilyun atau 0,45 % dari
total dana deposito perbankan nasional, pembiayaan Rp 5,53 trilyun atau 1.33 %
dari total pembiayaan perbankan nasional.
Adanya fatwa MUI tentang haramnya bunga
bank mestinya direspon oleh masyarakat untuk beralih kepada produk perbankan
syariah. Pihak bank syariah sendiri harus mampu menampung migrasi dana
masyarakat dari bank konvensional. Artinya, dengan share yang masih rendah
sementara peluang terbuka lebar akan semakin membuka peluang bagi pebisnis bank
untuk melebarkan sayap usaha alternatif guna mempercepat akselerasi pertumbuhan
bank syariah selain kesiapan dalam menangani masalah likuiditas. Kedua, tingkat
pengetahuan masyarakat tentang sistem dan manfaat perbankan syariah masih
rendah. Penelitian BI menunjukkan bahwa masyarakat yang tahu tentang manfaat
bank syariah hanya 11 %. Masih sedikitnya pengetahuan tentang manfaat bank
syariah menunjukkan bahwa masyarakat belum memahami konsep bank syariah baik
dalam produk maupun mekanisme operasionalisasi. Berkaitan dengan pengelolaan
dana pihak ketiga, bank konvensional terlanjur menjadi standar ukuran dalam
sistem perbankan nasional, mengakibatkan pula suku bunga sebagai benchmark
dalam setiap investasi.
Masyarakat akan melihat bahwa pada saat
krisis, kontribusi sektor riil kecil, sehingga keuntungan dari tabungan juga
kecil. Dalam sistem ekonomi islami, tingkat keuntungan sesuai dengan real
return. Artinya, meskipun kondisi krisis. selama investasi sektor rid dikelola
secara profitable dengan memperhitungkan risk return melalui anal isis rasional
is ekonomis, maka keuntungan dari tabungan/deposito akan sesuai dengan
keuntungan ri i I dalam pengelolaan dana. Sebagian masyarakat masih mempunyai
persepsi bahwa bank dan lembaga keuangan syariah adalah lembaga sosial untuk
membantu umat semata. Fungsi sosial memang bisa dilakukan ketika di sana
terdapat yordul hasn't, yaitu pinjaman yang sifatnya membantu, tapi harus
benar-benar diarahkan kepada masyarakat yang sangat membutuhkan.
Pada sisi lain, masyarakat menganggap
bank dan lembaga keuangan syariah adalah sistem bagi hasil yang semuanya harus
mudharabah, sehingga besarnya bagi hasil harus lebih besar dari bunga dan
dibayar setiap tahun seperti deviden. Masyarakat juga menganggap bahwa bank
ikut memiliki perusahaan nasabah sehingga turut campur dalam manajemen.
Rendahnya kesadaran masyarakat akan sistem dan manfaat bank syariah ini
diakibatkan karena usia bank syariah yang masih relatif muda dan belum
gencarnya sosialisasi sistem bank syariah pada seluruh lapisan masyarakat.
Peran serta dari semua pihak yang
terkait (bank syariah, pemerintah melalui otoritas moneter, institusi
pendidikan, ulama dan pebisnis) dalam mensosialisasikan produk, sistem dan
manfaat bank syariah merupakan langkah strategic dalam membangan knowledge
masyarakat. Ketiga, sistem pelayanan bank dan lembaga keuangan syariah yang
belum optimal. Sedikitnya produk dan jaringan bank syariah mengakibatkan
masyarakat kurang melirik bank syariah. Tantangan semakin berat ketika tingkat
pengetahuan operator bank syariah yang masih rendah terhadap sistem bank
syariah itu sendiri.
Dalam dunia modern yang serba praktis
menuntut masyarakat mendapatkan berbagai fasilitas kemudahan dalam memenuhi
kebutuhannya, seperti kartu kredit, kartu debit dan pelayanan internet banking.
Sistem perhitungan yang terkesan lebih rumit dan berbelit-belit akan merupakan
tantangan berat bagi bank syariah.
Sistem perhitungan bank syariah bukanlah
sistem bunga –yang memang memudahkan dalam analisis perhitungan melalui sistem
fixed interest rate-, tapi pendekatannya lebih kepada transparansi dan keadilan
dalam pembagian pendapatan. Pelayanan bank syariah termasuk pembinaan manajemen
keuangan, khususnya nasabah, merupakan tarbiyah internal bank syariah kepada
nasabahnya. Untuk itu diperlukan sumberdaya manusia operator bank yang
benar-benar mengerti produk bank syariah beserta segala hukum yang terkait
dengannya dan manajemen pengelolaan keuangan yang tidak melanggar syariah
islamiyyah.
Pengembangan produk dan pelayanan
jaringan bank syariah dengan tetap mengedepankan prinsip syariah merupakan
keharusan dalam menghadapi dinamika masyarakat modern yang semakin pesat.
Keempat, kesulitan bank syariah berkenaan dengan pengelolaan likuiditas dana.
Dalam pengelolaan likuiditas antar bank dan lembaga keuangan lainnya, bank
syariah harus mampu menyediakan sarana yang memudahkan likuiditas dalam bentuk
instrumen pasar uang syariah. Diterbitkannya Sertifikat Wadiah Bank Indonesia
(SWBI) dan Investasi Mudharabah Antar-Bank Syariah (IMAS) dengan imbalan yang
besarnya merujuk kepada nilai bagi hasil bank syariah, adalah upaya
menjembatani masalah likuiditas. Adsapun berkaitan dengan pengelolaan
likuiditas internal bank syariah, dominasi sistem murabahah tidak sesuai dengan
`ruh' ideal bank syariah yang mengedepankan sistem bagi hasil.
Hampir semua perbankan syariah (71,5%)
didominasi oleh produk pembiayaan murabahah, padahal dana pihak ketiga
mayoritas berasal dari tabungan dan deposito mudharabah (88,8%). Dominasi
sistem murabahah terjadi karena relatif lebih mudah dan sederhana dalam perhitungan
baik bagi bank maupun masyarakat yang selama ini terbiasa dengan sistem bunga.
Pada sisi lain kecenderungan sistem murabahah juga terjadi karena pola
masyarakat Indonesia yang masih konsumtif, khususnya barang nonproduktif.
Tantangan ini semakin berat, karena sistem bank syariah yang (dan memang
seharusnya) real cost bussines, apalagi menghadapi bank konvensional dengan
suku bunga rendah.
Dengan skala usaha yang relatif kecil
tentunya biaya operasional per unit semakin besar, sehingga jika dibandingkan
dengan suku bunga akan jauh lebih besar. Prinsip efisiensi dan skala ekonomis
akan sulit diterapkan dalam operasionalisasi bank syariah, sehingga komitmen
–khususnya- umat Islam dalam menggunakan produk bank syariah menjadi suatu
`keharusan' untuk membesarkan bank syariah agar ke depan dapat beroperasi
secara efisien..
Kurangnya pembiayaan dengan sistem bagi
hasil sistem mudharabah (14,4%) dan musyarakah (7,53) adalah akibat asymmetric
information, yaitu kecenderungan salah satu pihak (nasabah bank) mengusasi
informasi lebih banyak untuk bersikap tidak jujur. Oleh sebab itu, perlu
diperhatikan incentive compatible constrains, yaitu batasan-batasan untuk
memberikan insentif bagi nasabah yang jujur.
BAB
III
KESIMPULAN
DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Perkembangan
bank syariah baik volume usaha, jaringan maupun ragam produk yang dihasilkan
dalam dekade terakhir ini menunjukkan bahwa implementasi perekonomian yang
mengedepankan keadilan dan kesejahteraan telah mendapatkan tempat dalam
perekonomian modern. Adanya fleksibilitas dan keberagaman produk yang
dihasilkan membuka lebar peluang pengembangan bank syariah.
Mekanisme
bagi hasil bank syariah menunjukkan keadilan dan kewajiban bisnis, karena
pembayaran akan disesuaikan dengan keuntungan riil yang diperoleh. Demikian
pula resiko ditanggung bersama sesuai dengan peran dan partisipasi yang
diberikan. Secara lebih jauh sistem bagi hasil akan memberikan peluang
kemitraan usaha karena penyaluran dana akan dikaitkan dengan sektor riil dengan
disertai pembinaan dan pengawasan dalam proses manajemen oprasional.
Pertumbuhan
sektor usaha kecil akan terbuka lebar karena dasar pembiayaan disesuaikan
dengan kelayakan usaha bukan jaminan. Dengan segala kelebihan dan potensi yang
dimilikinya, bank syariah memiliki peluang jangka panjang yang prospektif bagi
pembagungan ekonomi Indonesia pada khususnya dan pengembangan sistem ekonomi
pada umumnya. Memutar arah paradigma lama sistem operasinal perbankan yang
mengandalkan bunga menjadi nonbunga, bukanlah pekerjaan mudah.
Sebagai komunitas perbankan yang relatif baru,
peran serta semua pihak dan institusi menjadi penting guna pengembangan
perbankan syariah ke depan. Pemerintah dan bank sentral harus mampu menyediakan
produk hukum yang mendukung pengembangan perbankan syariah. Institusi
pendidikan mampu mengeluarkan output sumber daya manusia yang memiliki
kualifikasi ideal dan kompetitif. Ulama melalui lembaga formal dan informalnya
harus senantiasa mengkaji dan mensosialisasikan produk perbankan syariah agar
tetap dalam koridor hukum svara'. Masyarakat luas harus disadarkan bahwa bank
syariah adalah alternatif terbaik dalam menstabilkan dan menjamin perekonomian
yang berkeadilan. Wallahu a'lamu bisshowab, wa laa haula wa Ina quwwata
iliabillah.
B.
Saran
Sebagai masyarakat muslim, hendaklah
kita dapat memilih dan membedakan pilihan yang tepat, benar serta halal bagi
kehidupan kita. Dengan menggunakan bank syariah yang jauh dari unsur riba,
selain akan mendapatkan keuntungan dalam dunia usaha, kita juga akan
mendapatkan pahala karena telah menjauhi salah satu larangan Alloh SWT. Berupa
praktek riba yang dilakukan bank – bank konvensional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar