kontropersi pacaran dalam agama islam



MAKALAH
PACARANKAH, ATAU TIDAK ?






KATA PENGANTAR
Segala puji kehadirat Alloh SWT yang telah memberikan nikmat iman dan nikmat islamkepada kita. Shalawat dan salam semoga tercurah limpahkan kepada Rasululloh SAW, keluarga, sahabat, dan kita sebagai generasi penerusnya hingga akhir zaman.
                Tradisi pacaran memiliki variasi dalam pelaksanaannya dan sangat dipengaruhi oleh tradisi individu-individu dalam masyarakat yang terlibat. Dimulai dari proses pendekatan, pengenalan pribadi, hingga akhirnya menjalani hubungan afeksi yang ekslusif. Perbedaan tradisi dalam pacaran, sangat dipengaruhi oleh agama dan kebudayaan yang dianut oleh seseorang. Dalam makalah ini, kami akan membahas seputar pacaran dalam pandangan islam, terutama menurut pandangan ahli fiqih.     
Selanjutnya kami mengucapkan banyak terimakasih kepada Bidang Pendidikan Pesantren KHZ. Musthafa Sukamanah, yang telah banyak membantu kami dalam proses pembuatan makalah ini, dan kami ucapkan terimakasih kepada teman- teman yang telah membantu dan mensuport kami, sehingga kami bisa dengan lancar menyelesaikan karya ilmiah ini.
                Dan kami meminta maaf yang sebesar- besarnya apabila dalam karya ilmiah ini masih terdapat kesalahan dan kekurangan. Karena kami menyadari bahwa kami masih dalam proses pembelajaran.


                                                                                                                                                                Penyusun












DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
B.      Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Pacaran
B.      Pandangan Ulama Fiqih Mengenai Pacaran
BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
B.      Saran












BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
        Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak lepas dari interaksi satu sama lain. Juga, tidak mungkin manusia hidup seorang diri. Kehidupan sosial yang menghasilkan sebuah pergaulan, baik pergaulan antar teman, pergaulan antar keluarga, dll.
        Pergaulan yang semakin hari semakin bebas menghasilkan banyak dampak bagi kehidupan manusia, baik yang bersifat positif dan juga yang bersifat negatif. Contohnya seperti pacaran, kata pacaran mungkin sudah tidak aneh lagi untuk kita, di zaman globalisasi sekarang ini bukan hanya orang dewasa yang mempraktekan kata pacaran. Tapi, anak-anak di bawah umurpun sudah seperti yang hapal bagaimana berpacaran, padahal pacaran merupakan perasaan seseorang yang dapat merubah prilaku seseorang , dan kebanyakan orang masih belum tau arti sebenarnya dari pacaran itu sendiri.
        Pacaran merupakan proses perkenalan antara dua insan manusia yang biasanya berada dalam rangkaian tahap pencarian kecocokan menuju kehidupan berkeluarga yang dikenal dengan pernikahan. Pada kenyataannya, penerapan proses tersebut masih sangat jauh dari tujuan yang sebenarnya. Manusia yang belum cukup umur dan masih jauh dari kesiapan memenuhi persyaratan menuju pernikahan telah dengan nyata membiasakan tradisi yang semestinya tidak mereka lakukan.padahal itu semua akan menjerumuskan mereka kedalam gelapnya kehidupan.
        Tradisi pacaran memiliki variasi dalam pelaksanaannya dan sangat dipengaruhi oleh tradisi individu-individu dalam masyarakat yang terlibat. Dimulai dari proses pendekatan, pengenalan pribadi, hingga akhirnya menjalani hubungan afeksi yang ekslusif. Perbedaan tradisi dalam pacaran, sangat dipengaruhi oleh agama dan kebudayaan yang dianut oleh seseorang. Menurut persepsi yang salah, sebuah hubungan dikatakan pacaran jika telah menjalin hubungan cinta-kasih yang ditandai dengan adanya aktivitas-aktivitas seksual atau percumbuan. Tradisi seperti ini dipraktikkan oleh orang-orang yang tidak memahami makna kehormatan diri perempuan, tradisi seperti ini dipengaruhi oleh media massa yang menyebarkan kebiasaan yang tidak memuliakan kaum perempuan. Sampai sekarang, tradisi berpacaran yang telah nyata melanggar norma hukum, norma agama, maupun norma sosial di Indonesia masih terjadi dan dilakukan secara turun-temurun dari generasi ke generasi yang tidak mememiliki pengetahuan menjaga kehormatan dan harga diri yang semestinya mereka jaga dan pelihara.
        Oleh karena itu, kami akan memaparkan beberapa pengertian tentang pacaran menurut paradigma agama islam.
B.      Rumusan Masalah
1.       Sudah sepantaskah kita menjalani pacaran ?
2.       Bagaimana jika kita pacaran secara islami ?
3.       Bagaimana pendapat fiqih tentang pacaran?
4.       Bagaimana Sikap kita dengan pernyataan bahwa “ Perasaan terhadap lawan jenis itu datangnya dari Alloh, dan pacaran itu pun secara tidak langsung hakikatnya sudah di tentukan oleh Alloh.”
5.       Bagaimana cara anda  untuk menghadapi perasaan anda terhadap lawan jenis?





BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Pacaran
1.    Menurut DeGenova & Rice (2005) pengertian pacaran adalah menjalankan suatu hubungan dimana dua orang bertemu dan melakukan serangkaian aktivitas bersama agar dapat saling mengenal satu sama lain. Menurut Bowman (1978) pacaran adalah kegiatan bersenang-senang antara pria dan wanita yang belum menikah, dimana hal ini akan menjadi dasar utama yang dapat memberikan pengaruh timbal balik untuk hubungan selanjutnya sebelum pernikahan di Amerika. 
2.    Benokraitis (1996) menambahkan bahwa pacaran adalah proses dimana seseorang bertemu dengan seseorang lainnya dalam konteks sosial yang bertujuan untuk menjajaki kemungkinan sesuai atau tidaknya orang tersebut untuk dijadikan pasangan hidup. Menurut Saxton (dalam Bowman, 1978), pacaran adalah suatu peristiwa yang telah direncanakan dan meliputi berbagai aktivitas bersama antara dua orang (biasanya dilakukan oleh kaum muda yang belum menikah dan berlainan jenis). 
3.    Kyns (1989) menambahkan bahwa pacaran adalah hubungan antara dua orang yang berlawanan jenis dan mereka memiliki keterikatan emosi, dimana hubungan ini didasarkan karena adanya perasaan-perasaan tertentu dalam hati masing-masing. Menurut Reiss (dalam Duvall & Miller, 1985) pacaran adalah hubungan antara pria dan wanita yang diwarnai keintiman. Menurut Papalia, Olds & Feldman (2004), keintiman meliputi adanya rasa kepemilikan. Adanya keterbukaan untuk mengungkapkan informasi penting mengenai diri pribadi kepada orang lain (self disclosure) menjadi elemen utama dari keintiman.
4.    Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga, 2002:807), pacar adalah kekasih atau teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta-kasih. Berpacaran adalah bercintaan; (atau) berkasih-kasihan (dengan sang pacar). Memacari adalah mengencani; (atau) menjadikan dia sebagai pacar. Sementara kencan sendiri menurut kamus tersebut (lihat halaman 542) adalah berjanji untuk saling bertemu di suatu tempat dengan waktu yang telah ditetapkan bersama.
5.    Menurut kelompok kami , pacaran  adalah pengaflikasian perasaan keterikatan pada sesuatu yang membuat kita tidak ingin meninggalkannya dan tidak ingin kehilangannya selama-lamanya.

B.      Pandangan Ulama Fiqih Mengenai Pacaran

1.      Pacaran Islami ala Quraish Shihab

Sebelum sampai ke jenjang perkawinan, ada satu tahapan/kegiatan yang diatur oleh agama, yaitu khitbah (pinangan) atau “masa pacaran”. Untuk itu dianjurkan kepada setiap calon suami untuk “melihat” calon istrinya (dan tentu demikian pula sebaliknya). Nabi saw. bersabda:
“Lihatlah calon istrimu, karena ia (melihatnya) akan mengundang kelanggengan hubungan kalian berdua.”
Ini bukan berarti bahwa “pacaran” dalam pengertian sebagian anak-anak muda sekarang dibolehkan agama. Tidak dan sekali lagi tidak! Kalau pun ada pacaran yang dibolehkan agama, maka pacaran yang dimaksud adalah dalam pengertian “teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan batin, untuk menjadi tunangan, dan kemudian istri”. Pacaran yang dibenarkan adalah yang “hanya” merupakan sikap batin, bukan yang dipahami sementara orang, khususnya remaja sekarang, yakni sikap batin yang disusul dengan tingkah laku, berdua-duaan, saling memegang, dan seterusnya.
Makhluk, termasuk manusia, remaja atau dewasa, dianugerahi oleh Tuhan rasa cinta kepada lawan seksnya (QS, Ali ‘Imran [3]: 14). Atas dasar itu, agama tidak menghalangi pacaran dalam pengertian di atas. Agama hanya mengarahkan dan membuat pagar-pagar agar tidak terjadi “kecelakaan”.
Dahulu ada sebagian ulama memahami sabda Nabi saw. yang membolehkan “melihat calon istri” sebagai “membolehkan melihat wajah dan telapak tangan.” Kini sementara ulama memahaminya lebih dari itu, yakni mengenalnya lebih dekat, dengan bercakap-cakap atau bertukar pikiran, selama ada pihak terpercaya yang menemani mereka, guna menghindar dari segala yang tidak diinginkan oleh norma agama dan budaya.” Ketika itu, jika terjalin hubungan cinta kasih antara keduanya–meskipun itu berupa cinta kasih yang muncul sebelum menikah–maka agama tidak menghalanginya. Bukankah tujuan mereka adalah saling mengenal guna melangsungkan dan melanggengkan perkawinan?
Dalam konteks perintah Nabi saw. untuk melihat calon istri yang dikutip di atas, terbaca bahwa beliau tidak menentukan “batas-batas tertentu” dalam “melihat”. Beliau hanya menentukan tujuan melihat dan hal ini menunjukkan keluwesan ajaran Islam dan keistimewaannya, sehingga memudahkan setiap orang pada setiap masa untuk menyesuaikan diri dengan adat istiadat, etika, dan kepentingan mereka, selama dalam batas-batas yang wajar. Begitu pandangan banyak ulama kontemporer.
2.      Pacaran Islami ala Ibnu Qayyim Al-Juziyah
Dalam buku terjemahan kitab beliau, Raudhatul Muhibbiin, yang berjudul Taman Orang-orang Jatuh Cinta, terj. Bahrun AI Zubaidi, Lc (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006). Di katakan, orang yang jatuh cinta ditawari “rahmat dan syafaat” (hlm. 715 dst.). Selain itu, beliau mengarahkan pembaca untuk “menyeimbangkan dorongan hawa nafsu dan potensi akal” (hlm. 29 dst.).
Memang, sebagaimana ulama-ulama besar lainnya, beliau pun menekankan “cinta kepada Allah” dan “cinta karena Allah”. Namun, beliau ternyata juga membicarakan fenomena “pacaran islami”, suatu topik sensitif yang sering dihindari banyak ulama. Beliau mengungkapkannya (bersama-sama dengan persoalan lain yang relevan) di sub-bab “Berbagai hadits, atsar, dan riwayat yang menceritakan keutamaan memelihara kesucian diri” dan “Cinta yang suci tetap menjadi kebanggaan” ..
Sekurang-kurangnya, ada sembilan contoh praktek pacaran islami yang diceritakan oleh Ibnu Qayyim di situ. Dari contoh-contoh itu, dan dari keterangan beliau di buku tersebut, terdapat ciri khas “pacaran islami” ala Raudhatul Muhibbiin. Ini dia tujuh diantaranya:
a.       mengutamakan akhirat
  1. mencintai karena Allah
  2. membutuhkan pengawasan Allah dan orang lain
  3. menyimak kata-kata yang makruf
  4. tidak menyentuh sang pacar
  5. menjaga pandangan
  6. seperti berpuasa
a)        Mengutamakan Akhirat
Pada dua contoh, pelaku “pacaran islami” ditawari kenikmatan duniawi (zina), tetapi menolaknya dengan alasan ayat QS Az-Zukhruf [43]: 67,
“Teman-teman akrab pada hari [kiamat] itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertaqwa.”
Maksudnya, mereka yang islam itu lebih memilih kenikmatan ukhrawi daripada kenikmatan duniawi (ketika dua macam kenikmatan ini bertentangan).
Adapun pada bab terakhir, Ibnu Qayyim (dengan berlandaskan QS Al-Insaan [76]: 12) menyatakan,
 “Barang siapa yang mempersempit dirinya [di dunia] dengan menentang kemauan hawa nafsu, niscaya Allah akan meluaskan kuburnya dan memberinya keleluasaan di hari kemudian.”
b)      Mencintai Karena Alloh         
Pada suatu contoh, diungkapkan syair: “Sesunggguhnya aku merasa malu kepada kekasihku bila melakukan hal yang mencurigakan; dan jika diajak untuk hal yang baik, aku pun berbuat yang baik.”
Syair tersebut menggambarkan bahwa percintaannya “menghantarkannya untuk dapat meraih ridha-Nya” . Menghindari hal yang mencurigakan dan menerima ajakan berbuat baik itu diridhai Dia, bukan?
Lantas, apa hubungannya dengan “cinta karena Allah”? Perhatikan:
Yang dimaksud dengan cinta karena Allah ialah hal-hal yang termasuk ke dalam pengertian kesempurnaan cinta kepada-Nya dan berbagai tuntutannya, bukan keharusannya. Karena sesungguhnya cinta kepada Sang Kekasih menuntut yang bersangkutan untuk mencintai pula apa yang disukai oleh Kekasihnya dan juga mencintai segala sesuatu yang dapat membantunya untuk dapat mencintai-Nya serta menghantarkannya untuk dapat meraih ridha-Nya dan berdekatan dengan-Nya. (hlm. 550)
c)        Membutuhkan Pengawasan Alloh dan Orang Lain
Pada suatu contoh, pelaku “pacaran islami” bersyair: “Aku punya Pengawas yang tidak boleh kukhianati; dan engkau pun punya Pengawas pula” .
Pada satu contoh lainnya, Muhammad bin Sirin mengabarkan bahwa “dahulu mereka, saat melakukan pacaran, tidak pernah melakukan hal-hal yang mencurigakan. Seorang lelaki yang mencintai wanita suatu kaum, datang dengan terus-terang kepada mereka dan hanya berbicara dengan mereka tanpa ada suatu kemungkaran pun yang dilakukannya di kalangan mereka” .
d)      Menyimak Kata-Kata Ma‘ruf
Pada suatu contoh, ‘Utsman Al-Hizami mengabarkan, “Keduanya saling bertanya dan wanita itu meminta kepada Nushaib untuk menceritakan pengalamannya dalam bentuk bait-bait syair, maka Nushaib mengabulkan permintaannya, lalu mendendangkan bait-bait syair untuknya.”
Pada enam contoh, para pelaku pacaran islami “saling mengutarakan rasa cintanya masing-masing melalui bait-bait syair yang indah dan menarik”
Pada suatu contoh, pelaku pacaran islami mengabarkan, “Demi Tuhan yang telah mencabut nyawanya, dia sama sekali tidak pernah mengucapkan kata-kata yang mesum hingga kematian memisahkan antara aku dan dia.”
e)        Tidak Menyentuh Sang Pacar
Pada suatu contoh, pelaku pacaran islami menganggap jabat tangan “sebagai perbuatan yang tabu” .Dan , pelaku pacaran islami tidak pernah menyentuhkan tangannya ke tubuh pacarnya. Pada satu contoh lainnya, pelaku pacaran islami “berdekatan tetapi tanpa bersentuhan” .
Sementara itu, Ibnu Qayyim mengecam gaya pacaran jahili di zaman beliau. Mengutip kata-kata Hisyam bin Hassan, “yang terjadi pada masa sekarang, mereka masih belum puas dalam berpacaran, kecuali dengan melakukan hubungan sebadan alias bersetubuh”.
f)     Menjaga Pandangan
Di antara contoh-contoh itu, terdapat satu kasus yang menunjukkan bahwa si pelaku pacaran islami “dapat melihat” kekasihnya. Akan tetapi, Ibnu Qayyim telah mengatakan “bahwa pandangan yang dianjurkan oleh Allah SWT sebagai pandangan yang diberi pahala kepada pelakunya adalah pandangan yang sesuai dengan perintah-Nya, yaitu pandangan yang bertujuan untuk mengenal Tuhannya dan mencintai-Nya, bukan pandangan ala setan”.
g)   Seperti Berpuasa
seperti orang yang berpuasa yang menahan diri dari kenikmatan buat nanti pada hari berbukanya saat meninggalkan dunia ini manakala dia berjumpa dengan Allah SWT.





BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Demikianlah kisah-kisah yang menggambarkan kesucian mereka dalam bercinta. Motivasi yang mendorong mereka untuk memelihara kesuciannya paling utama ialah mengagungkan Yang Mahaperkasa, kemudian berhasrat untuk dapat menikahi bidadari nan cantik di negeri yang kekal (surga). Karena sesungguhnya barang siapa yang melampiaskan kesenangannya di negeri ini untuk hal-hal yang diharamkan, maka Allah tidak akan memberinya kenikmatan bidadari nan cantik di negeri sana.
B.      Saran
Oleh karena itu, hendaklah seorang hamba bersikap waspada dalam memilih salah satu di antara dua kenikmatan [seksual] itu bagi dirinya dan tiada jalan lain baginya kecuali harus merasa puas dengan salah satunya, karena sesungguhnya Allah tidak akan menjadikan bagi orang yang menghabiskan semua kesenangan dan kenikmatan dirinya dalam kehidupan dunia ini.
Kemudian pesan kami selaras dengan hadits yang artinya
“Wahai segenap pemuda, barang siapa yang mampu memikul beban keluarga hendaklah menikah. Sesungguhnya pernikahan itu lebih dapat meredam gejolak mata dan nafsu seksual, tetapi barang siapa belum mampu, hendaklah dia berpuasa, karena puasa itu benteng (penjagaan) baginya."
(HR Bukhari). (Abu Annisa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar