Selasa, 23 September 2014

makalah amr dan nahyi








KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT. Yang telah memberikan kita akal fikiran, rahmat dan hidayah sehingga kita bisa membedakan yang hak dan yang bathil, sholawat serta salam semoga tetap mengucur deras kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Berkat beliau agama Islam tersebar luas di dunia dengan metode "rohmatan lil'alamin ".
Dengan ucapan bismillah dan alhamdulillah sepenuh hati, saya penulis merasa sangat berbahagia dengan selesainya makalah yang telah menjadi tugas saya dalam mencari lebar dan dalamnya ilmu pengetahuan.
Ushul fiqih sebagai ilmu metodologi penggalian hukum mempunyai peranan penting dalam ranah keilmuan agama Islam khususnya dalam ilmu hukum islam atau ilmu fiqih. Pembahasan dari segi kebahasaan atau kajian lughawiyah, sangat penting sekali ditela’ah karena sumber hukum islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadist menggunakan bahasa arab yang mempunyai banyak makna yang terkandung didalamnya. Penulis akan mengetengahkanmasalahamar dan nahi sebagai bagian dari pada makna kebahasaan tersebut.
Kami haturkan kepada para pembaca, makalah yang menurut kami jauh dari kata sempurna ini. Kami mohon ma'af apabila dalam panuturan makalah ini terdapat kesalahan, maka dari itu kritik dan saran yang membangun kami mohon dengan sangat kepada para pembaca sekalian. Semoga bermanfaat, dan kita mendapatkan rahmat dan ridho Alloh Swt. Amin


Sukamanah, Juni 2013
Penyusun,








DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah........................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................... 2
1.3 Batasan Masalah...................................................................................... 2
1.4 Tujuan...................................................................................................... 2
1.5 Metode Penelitian.....................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Amar dan Nahi....................................................................... 3
2.2 Bentuk-bentuk Amr dan Nahi.................................................................. 7
2.3 Kaidah-kaidah yang Berhubungan dengan Amr dan Nahi..........................11

BAB III SIMPULAN DAN SARAN
3.1 Simpulan..................................................................................................16
3.2 Saran.......................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 17


BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang Masalah
Dalam matematika, kita mengenal theorema phytagoras, dalam fisika lebih banyak lagi hukum yang kita kenal dan diakui sebagai kaidah umum yang berlaku dalam suatu bidang tertentu dari cabang ilmu fisika. Dalam kimia pun demikian, kita mengenal adanya hukum kekekalan massa dan masih banyak hukum atau teori lain yang berlaku.
Hukum atau teori tadi dikembangkan oleh para ilmuwan melalui serangkaian percobaan dan pengujian sehingga diperoleh kesimpulan umum yang kemudian diakui sebagai kaidah dalam ilmu tersebut. Sampai adanya teori baru yang lebih ‘kuat’, teori-teori tersebut akan tetap digunakan sebagai kaidah yang diakui dan dijadikan sebagai dasar dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Dari situ kita bisa melihat betapa kaidah/teori/hukum dalam suatu bidang keilmuan tertentu memiliki peran yang sangat penting bagi manusia, dalam hal-hal duniawi tentunya.
Lalu, apakah Islam juga memiliki kaidah-kaidah seperti itu? Kaidah-kaidah atau hukum-hukum yang menjadi dasar bagi pengamalan syariat Islam?
Nabi Muhammad SAW. Bersabda :
“Tinggalkanlah sesuatu yang aku tidak anjurkan kepadamu. Kebinasaan umat terdahulu ialah karena mereka banyak bertanya dan selalu menyelisihi Nabi mereka. Jadi, apabila aku melarangmu dari sesuatu, tinggalkanlah, dan apabila aku perintahkan sesuatu kepadamu, lakukanlah semampumu” (HR Bukhari No. 7288 dan Muslim No. 1337).
Oleh karena itu, agama Islam juga mempunyai kaidah – kaidah atau hukum – hukum yang menjadi dasar bagi pengamalan syariat Islam, dan semua itu terkandung dalam ilmu ushul fiqih.
Ilmu ushul fiqh menyajikan berbagai cara dari berbagai aspeknya untuk menimba pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Untuk memahami teks-teks dari dua sumber yang berbahasa Arab tersebut, para ulama telah menyusun semacam sistematik yang akan digunakan dalam praktek penalaran fiqih. Bahasa Arab menyampaikan suatu pesan dengan berbagai cara dan dalam beberapa tingkat kejelasannya.
Secara garis besar, metode istinbath dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu segi kebahasaan, segi mawasid(tujuan) syari’ah, dan segi penjelasan beberapa dalil yang bertentangan. Ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an dalam menyampaikan ajaran Allah dan begitu juga Sunnah Rasulullah ada yang berbentuk amr(perintah), nahi(larangan), dan takhyir(pilihan). dari tiga kategori ayat-ayat hukum itulah terbentuk hukum-hukum, seperti wajib, mandub, haram, makruh dan mubah.
dalam makalah ini, yang akan dibahas adalah masalah metode istinbath bila dilihat dari segi kebahasaan yang berbetuk amr(perintah) dan nahi (larangan).

1.2    Rumusan Masalah
Agar dalam penulisan makalah ini lebih mengarah dan efektif, kami merumuskan masalah yang akan kami bahas yaitu :
1.      Pengertian Amr dan Nahi
2.      Bentuk-bentuk Amr dan Nahi
3.      Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan Amr dan Nahi

1.3    Batasan Masalah
Dalam karya ilmiah ini, saya hanya membatasi dua pembahasan saja, yaitu Amr dan Nahi.

1.4    Tujuan
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk mengetahui
1.         Pengertian Amr dan Nahi
2.         Bentuk- bentuk Amr dan Nahi
3.         Kaidah- Kaidah Yang Berhubungan dengan Amr dan Nahi

1.5    Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian study pustaka dengan menggunakan teknik pengumpulan data sebagai  berikut :
1.         Sumber data yang diperoleh melalui study kepustakaan yaitu pengumpulan dari buku dan searching via internet.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Amr dan Nahi
2.1.1 Pengertian Amr
a.         Amr menurut bahasa artinya suruhan, perintah dan perbuatan. Sedangkan menurut istilah yaitu tuntutan memperbuat dari atasan kepada bawahan.
b.         Amar adalah :
لفظ يراد به ان يفعل المامر ما يقصد من الام
“Lafal yang dikehendaki dengannya supaya orang mengerjakan apa yang dimaksud”
c.         Amar adalah :
هو طلب الفعل من الأعلى الى الادنى
“suatu permintaan dari atasan kepada bawahan untuk mengerjakan suatu pekerjaan.”
Jika Allah memerintahkan hamba-hambanya untuk mengerjakan sesuatu perbuatan, artinya menunjukkan kepada kewajiban mematuhi perintah-Nya, kalau ia sudah mukallaf maka ia  mendapat pahala jika ia mengerjakannya dan dia akan mendapat siksa jika ia meninggalkannya. Jumhur ulama berkata:
الاصل فى الامر للوجوب ولا تدل على غيره الا تدل على غيره الا بقرينة
“pada dasarnya amr itu menunjukkan kepada wajib dan tidak menunjukkan kepada yang selain wajib kecuali dengan qarinah.”
seperti:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ
"...dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat..."(Qs. An-Nisa’:77)
Kalimatini menunjukkan kepada wajib mengerjakan sholat dan mengeluarkan zakat, tidak ada qarinah yang menunjukkan kepada ketidak wajiban shalat dan zakat

d.        Amr adalah:
طلب الفعل ممن هو دونه على سبيل الوجوب
"menuntut kepada orang yang sebawahnya, untuk mengerjakan sesuatu dengan tuntutan yang mengharuskan".
Jadi bisa disimpulkan, bahwa orang yang memerintah kedudukannya harus lebih tinggi daripada orang yang di perintah. Pendapat ini didukung oleh abu ishaq asy-syairozi, ibnu shobagh & sam'ani (an-nafahat: 50).
Sementara imam ar-rozi, al-amudi & ibnu hajib berpendapat: "orang yang menyuruh/merintah tidak harus lebih tinggi daripada yang diperintah, namun disyaratkan memposisikan diri seakan-akan lebih tinggi daripada orang yang di perintah". Dan imam subkhi dalam jam'ul jawami' berpendapat :" orang yang memerintah tidak harus lebih tinggi daripada orang yang diperintah dan juga tidak harus memposisikan diri lebih tinggi daripada orang yang diperintah". Pendapat ini adalah yang rojih (kuat).
e.         Amar (Perintah) Amar adalah suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya. Amar dalam al-Quran disampaikan dalam berbagai gaya atau redaksi: Perintah tegas dengan menggunakan kata أمر seperti dalam QS. Al-Nahl: 90
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ
Amar dalam bentuk pemberitaan bahwa perbuatan itu diwajibkan dengan kata كُتِبَ  seperti dalam QS. Al-Baqarah: 178
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى
Amar dengan memakai redaksi pemberitaan (jumlah khabariyah) , namun yang dimaksud adalah perintah. Misalnya dalam QS. Al-Baqarah: 228
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ

f.          Menurut mayoritas ulama’ Ushul Fiqh, amr adalah:
الفظ الدال على طلب الفعل على جهة الاستعلاء
Suatu tuntutan(perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya.
2.1.2             Pengertian Nahi
a.         Nahi adalah: Tuntutan untuk meninggalkan secara pasti, tidak menggunakan “Tinggalkanlah”, atau yang sejenisnya.
b.         Nahi adalah larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu. Nahi dalam al-Quran disampaikan dalam berbagai gaya: Larangan secara tegas dengan kata نهى seperti dalam QS. Al-Nahl: 90
عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَيَنْهَى
Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan حرم seperti dalam QS. Al-A’raf: 33
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ
Larangan dengan menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal dilakukan, misal QS. Al-Nisa`: 19
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا
Larangan dengan menggunakan fi’il mudhari’ yang disertai lam yang menunjukkan larangan ( لا الناهية) seperti dalam QS. Al-An’am: 152
وَ لا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
c.         Nahi adalah :
ا لــنـهـي هـو طــلـب ا لــكــفّ عـن فــعــل مـن ا لأ عــلى ا لى ا لأ د نى
“Laranga adalah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dari orang yang lebih tinggi derajatnya kepada yang rendah”.
d.        Nahi adalah
القول الدال على استدعاء الترك ممن هو دونه على سبيل الوجوب
“Ucapan yang menunjukkan permintaan untuk meninggalkan sesuatu kepada orang sebawahnya yang sifatnya wujub/harus".
Sedangkan nahi yang dimutlakkan adalah:
مطلق النهى يقتضى دوام الترك ما لم يقيد بالمرة
"nahi yang dimutlakkan menuntut untuk ditinggalkan slamanya, selama tidak disertai qoyid untuk dilakukan skali saja".
Contoh nahi yang dimutlakkan : ﻻ تأكلوا الربا janganlah kalian memakan riba (berarti larangan memakan riba disini berlaku selamanya, karena tidak ada qoyid yang menunjukkan dilakukan sekali saja).
Contoh nahi yang diqoyidi "cukup dilakukan sekali" adalah :ﻻ تسافر اليوم= jangan bepergian hari ini (berarti besok/lusa boleh bepergian).
Larangan yangtidak bersifat mengharuskan, tidak bisa disebut nahi, sebagaimana larangan untuk meninggalkan perkara makruh yang sifatnya hanya anjuran. Maka pada hakikatnya, makruh bukan termasuk perkara terlarang (an-manhiyyu 'anhu).
Secara akal, perkara yang dilarang adalah perkara yang tercela. Maka nahi yang dimutlakkan berarti menunjukkan rusak(batal)nya perkara yang dilarang, baik brupa ibadah maupun mu'amalah.
e.         Ulama yang mensyaratkan kedudukan yang lebih tinggi bagi yang menyuruh memberikan definisi sebagai berikut:
هو طلب الترك من الاعلى الى الأدنى
Artinya:
“Tuntutan untuk meninggalkan dari pihak yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah”.
f.          Ulama yang mempersyaratkan adanya sikap meninggi waktu menyampaikan nahi itu memberi definisi:
هو اقتضاء كفّ على وجه الاستعلاء
Artinya:
“Tuntutan untuk meninggalkan meninggi”.
g.         Definisi yang lebih lengkap ialah:
هو طلب الكفّ على وجه الإلزام بلفظ غير نحو كفّ
Artinya:
“Tuntutan untuk meninggalkan secara pasti tidak menggunakan “Tinggalkanlah”, atau yang sejenisnya.

2.2       Bentuk-bentuk Amr dan Nahi
2.2.1 Bentuk-bentuk Amr
a.         Bentuk fi’il amr
Sepertifirman Allah :Qs. An-Nisa’:4 :
وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan...”
b.         Bentuk fi’il mudhari’ (kata kerja untuksekarang dan yang akan datang) yang disertai oleh lam al-amr (huruf yang berarti perintah)seperti firman Allah : Qs. Ali-Imran :104 :
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُون
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar”
c.         Bentuk isim fi’il amrseperti firman Allah : Qs. Al-Maidah : 150 :
...عَلَيْكُمْ اَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ اِذَا اهْتَدَيْتُمْ
“...Jagalah dirimu, tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk...”
d.        Bentuk masdar pengganti fi’ilseperti firman Allah : Qs. Al-Baqarah :83 :
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapakmu...”
e.         Bentuk jumlah khabariyah-kalimat berita yang mengandung arti insyaiyah, perintah atau permintaan.
contoh firman Allah SWT, Qs. Al-Baqarah : 228:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'...”
Kata-kata yang mengandung makna suruhan atau perintah, wajib, fardlu, seperti :
a)        Kata amrun
Padafirman Allah SWT, Qs. An-Nisa’ :58 :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya...”
b)        Kata fardlun
Padafirman Allah SWT, Qs. Al-Ahzab: 50 :
إِنَّا أَحْلَلْنَا لَكَ أَزْوَاجَكَ اللَّاتِي آَتَيْتَ أُجُورَهُنَّ
“...Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka...”
c)        Kata kataba
Padafirman Allah, Qs. Al-Baqarah :183:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa”
d)       Memberitahukan tentang adanya kewajiban dengan memakai kata ‘alacontoh firman Allah, Qs. Ali-Imran :97:
ا وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلً
“mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah”
e)        Jawab syarat
Shigat al-Amr secara bahasa bermakna tidak mengandung adanya pengulangan perkara yang diperintahkan dan tidak menunjukkan bahwa yang diperintahkan itu harus segera dilaksanakan. Pengulangan dan penyegeraan  melakukan perbuatan yang diperintahkan tidak ditunjuk oleh shigat itu sendiri, sebab maksud tersebut adalah tercapainya perkara yang diperintahkan. Maksud itu dapat tercapai lantaran telah dikerjakan walaupun hanya sekali saja dan pada waktu apa saja, jika terdapat qarinah yang menunjukan adanya pengulangan atau penyegeraan, maka qarinah itulah yang sebenarnya menunjukkan pengulangan dan penyegeraan. Untuk lebih jelasnya penulis kemukakan pendapat ulama, sebagai berikut:
Mengenai suatu perintah apakah dikerjakan sekali atau harus berulang kali. Dalam masalah ini terdapat beberapa pendapat:
Menurut fuqaha Hanafiah dan kebanyakan fuqha syafiiyah, bahwa:
الأصل فى الأمر لا يقتضى التكرار
Alasan yang mereka kemukakan bahwa sihagt al-Amr itu sendiri pada dasarnya tidaklah menunjukkan bahwa sesuat yang diperintah oleh sighat al-Amr itu harus dikerjakan sekali atau berulang kali. Apabila melakukan perintah itu sekurang-kurangnya cukup dengan sekali saja, maka yang demikian itu sudah dapat dikatakan mentaati perintah, misalnya perintah menjalankan haji dan umrah dalam QS. Al-baqarah (2): 196.
Menurut sebagian ulama;
الأصل فى الأمر لا يقتضى التكرار مدة العمر مع الإمكان.
Dalam hal ini amr diqiyaskan dengan tuntutan untuk meningalkan perbuatan yang berlaku dalam shigat nahi yang mengandung pengertian untuk terus menerus ditinggalkan, karena amr dan nahi keduanya adalah sama-sama berupa tuntutan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa al-Amr itu mewajibkan adanya pengulangan apakah Amr dihubungkan dengan syarat seperti dalam QS. al-Maidah (5): 6. Kewajiban tersebut harus berulang dikerjakan, selama syarat itu ada (berulang kali terjadi), yaitu junub biarpun perintahnya sekali saja. Demikian pula bila ada hubungan sifat perbuatan, misalnya dalam QS al-Nur (24): 3. Menjatuhkan hukuman dera kepada laki-laki atau perempuan yang berzina harus berulang kali dilakukan, selama sifat perbuatan zina itu dikerjakan tanpa menunggu adanya perintah baru untuk menjatuhkan hukuman dera.
Kesegeraan dalam melaksanakan perintah. Dalam masalah ini terdapat beberapa pendapat.
Menurut Hanafiah dan Syafiiyah.
الأصل فى الأمر لا يقتضى الفور
Alasan yang mereka kemukakan adalah bahwa shigat Amr itu diciptakan hanya semata-mata untuk menutut sesuatu perbuatan. Karena itu tidak ada petunjuk untuk segera dikerjakan atau ditunda.
Fuqaha Malikiyah dan Hanabilah berpendapat.
الأصل فى الأمر يقتضى الفور
Mereka mengqiyaskan dengan shigat nahyu yang mengandung arti segera ditinggalkan, karena kedua amr itu sama-sama merupakan tuntutan.
Amr yang datang sesudah Nahi (larangan). Dalam masalah ini terdapat beberapa pendapat.
الأصل فى الأمر للوجوب ولو بعد النهى
Yang demikian itu menurut umumnya dalalah amr itu wajib. Maka kedatangannya sesudah nahi pun tidak mempengaruhi dalalahnya am’ itu.
Contoh dalam QS. al-Jum’ah : 10 yang datang setelah larangan mencari dengan alan jual beli di waktu penggilan salat jum’at telah diserukan dalam firmannya QS. al-Jum’ah : 9. Hal ini bukan perintah wajib, tetapi hanya sekadar kebolehan saja.

2.2.2 Bentuk-bentuk Nahi
Dalam melarang suatu perbuatan, seperti disebutkan oleh Muhammad Khudari Beik. Allah juga memakai ragam bahasa, diantaranya:
a.         Fi’il Mudhari yang disertai dengan La An-Nahiyah
لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ
“Janganlah berbuat kerusakan di bumi”.{QS.Al-baqarah /2;11}
b.         Larangan secara tegas dengan menggunakan kata NAHA yang secara bahasa berarti melarang.
و ينهى عنى الفخشىء والمنكر...
Artinya: Dan Allah melarang kamu berbuat keji dan munkar.(QS 16 : 90 )
c.         Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan itu diharamkan. Misalnya dalam surat Al-A’raf ayat 33.
قل انما حرم ربي الفوا حش.....
Artinya: Katakanlah tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji….
d.        Larangan dengan memakai kata perintah namun bermakna tuntutan untuk meninggalkan, misalnya ayat 120 surat al-An’am:
ودروا ظا هرالاثم وبا طنه.....

2.3 Kaidah- Kaidah Yang Berhubungan dengan Amr dan Nahi
2.3.1  Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan Amr
Kaidah-kaidah amar ialah ketentuan-ketentuan yang dipergunakan para mutjahid dalam mengistinbatkan hokum. Ulama ushul merumuskan kaidah-kaidah amar dalam lima bentuk, yaitu :
Kaidah pertama
Pada dasarnya amar(perintah) itu menunjukan kepada wajib dan tidak menunjukan kepada selain wajib kecuali dengan adanya qaninah.
Maksud dari kaidah tersebut adalah bahwa mengerjakan sesuatu pekerjaan yang dituntut oleh suatu perintah adalah wajib diperbuat. Tapi dalam perkembangannya amar itu bisa dimaksudkan bukan wajib,antara lain seperti berikut ini:
1.         Nadab: anjuran sunah,
2.         Irsyad : membimbing atau memberi petunjuk,
3.         Ibahah: boleh dikerjakan dan boleh ditinggal,
4.         Tahdid: mengancam atau menghardik,
5.         Taskhir: menghina atau merendahkan derajat,
6.         Ta’jiz: menunjukan kelemahan lawan,
7.         Taswiyah: sama antara dikerjakan atau tidak,
8.         Takdzib: mendustakan,
9.         Talhif: membuat sedih atau merana,
10.     Doa: permohonan,


Kaidah kedua
“Perintah setelah larangan menunjukan kepada kebolehan”
Maksud dari kaidah ini ialah, apabila ada perbuatan-perbuatan yang semula dilarang ,lalu datang perintah mengerjakan, maka perintah tersebut bukan perintah wajib tetapi bersifat membolehkan. seperti Firman Allah swt.
#sŒÎ*sùÏMuŠÅÒè%äo4qn=¢Á9$#(#rãÏ±tFR$$sùÎûÇÚöF{$#(#qäótGö/$#ur`ÏBÈ@ôÒsù«!$#(#rãä.øŒ$#ur©!$##ZŽÏWx.ö/ä3¯=yè©9tbqßsÎ=øÿè?ÇÊÉÈ
apabila shalat telah dilaksanakan , maka bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia allah{ QS.al-jumu’ah 62:10}”
Dengan demikian perintah bertebaran dinuka bumi,seperti kata ayat diatas, hukumnya tidak wajib, tapi diperbolehkan.
Kaidah ketiga
“Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki segera dilaksanakan”
Misalnya tentang haji seperti firman Allah swt.
bÏiŒr&urÎûĨ$¨Y9$#Ædkptø:$$Î/ÇËÐÈ
Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji”{ QS. Al-haji/ 22:27}
Dalam hadist Nabi saw dinyatakan:
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu{untuk melaksanakan}haji, maka berhajilah kamu.
Kaidah Keempat
Padadasarnya perintah ini tidak menghendaki pengulangan{berkali-kali mengerjakan perintah}.Misalnya dalam ibadah haji , yaitu satu kali seumur hidup namun bila perintah itu dimaksudkan pengulangan,maka harus ada qarinah atau kalimat yang menunjukan pada pengulangan.
Menurut ulama, qarinah dapat dikelompokan menjadi 3 :
1)        Perintah itu dihubungkan dengan syarat,seperti wajib mandi setelah junub.
2)        Perintah itu dihubungkan dengan ‘illat,seperti hukumm rajam kalau melakukan zina.
3)        Perintah itu dihubungkan dengan sifat atau keadaan yang berlaku sebagai ‘illat, seperti kewajiban shalat setiap kali masuk waktu shalat.
Kaidah Kelima
Memerintahkan mengerjakan sesuatu berarti memerintahkan pula segala wasilahnya.Maksud kaidah ini adalah bahwa perbuatan yang diperintahkan itu tidak bisa terwujud,tanpa disertai dengan sesuatu perbuatan lain yang dapat mewujudkan perbuatan yang diperintah itu, seperti kewajiban mengerjakan shalat.
2.3.2 Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan Nahi
Kaidah Pertama
Menurutjumhurpada dasarnya kaidah itu menunjukan haram. Seperti:
Ÿwur(#qç/tø)s?#oTÌh9$#(ÇÌËÈ
“Dan janganlah kamu mendekati zina”{QS.al-isra / 17:32}”
Alasan dipakai Jumhur.
1)        Akan dapat memahami bahwa sigat bentuk anhi itu menunjukan arti yang sebenarnya,yaitu melarang
2)        Ulama salaf memahami sigat nahi yang bebas dari qarinah menunjukan larangan.
Sebagian ulama lain berpendapat” Pada dasarnya larangan itu menunjukan makruh”
Menurut kaidah ini ,nahi bermakna sesuatu yang dilarang itu adalah tidak baik.Karena itu tidak selalu bermakna haram ,tetapi makruh. Sebab makruh lah pengertian yang pasti.
Sigat nahi selain menunjukan haram ,sesuai dengan qarinahnya juga menunjukan beberapa arti ,antara lain sebagai berikut:
1)        Bermakana Karaah, seperti: “jangan kamu shalat diatas kulit onta yang di samak”
2)        Bermakna Doa, seperti:
Ÿwß#Ïk=s3リ!$#$²¡øÿtRžwÎ)$ygyèóãr4$ygs9$tBôMt6|¡x.$pköŽn=tãur$tBôMt6|¡tFø.$#3$oY­/uŸw!$tRõÏ{#xsè?bÎ)!$uZŠÅ¡®S÷rr&$tRù'sÜ÷zr&4$oY­/uŸwurö@ÏJóss?!$uZøŠn=tã#\ô¹Î)$yJx.¼çmtFù=yJymn?tãšúïÏ%©!$#`ÏB$uZÎ=ö6s%4$uZ­/uŸwur$oYù=ÏdJysè?$tBŸwsps%$sÛ$oYs9¾ÏmÎ/(ß#ôã$#ur$¨YtãöÏÿøî$#ur$oYs9!$uZôJymö$#ur4|MRr&$uZ9s9öqtB$tRöÝÁR$$sùn?tãÏQöqs)ø9$#šúï͍Ïÿ»x6ø9$#ÇËÑÏÈ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. beri ma'aflah Kami; ampunilah Kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, Maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir” {Q.S al-Baqarah / 2:286}”
3)        Bermakna Irsyad , memberi petunjuk , mengarahkan,seperti:

Ÿw(#qè=t«ó¡n@ô`tãuä!$uô©r&bÎ)yö6è?öNä3s9öNä.÷sÝ¡n@ÇÊÉÊÈ
“janganlah kamu menanyakan{kepada nabimu} hal-hal yang jika diterangkan kepadamu,{justru}menyusahkanmu” {QS. Al-Maidah / 5:101}”
4)        Bermakna Tahqir,menghina,seperti:

Ÿw¨b£ßJs?y7øt^øtã4n<Î)$tB$uZ÷è­GtBÿ¾ÏmÎ/$[_ºurør&óOßg÷YÏiBŸwur÷btøtrBöNÍköŽn=tãôÙÏÿ÷z$#ury7yn$uZy_tûüÏZÏB÷sßJù=Ï9ÇÑÑÈ

“Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang Telah kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu), dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman”.{QS. Al-Hijr / 15:88}”

5)        Bermakna Bayan Al-aqibah,seperti:
Ÿwur¨ûtù|¡øtrBtûïÏ%©!$#(#qè=ÏFè%ÎûÈ@Î6y«!$#$O?ºuqøBr&4ÇÊÏÒÈ
“Dan jangan sekali-kali kamu mengira orang-orang yang gugur dijalan Allah itu mati” {QS Al-imran / 3.169}
6)        Ta’yis menunjukan putus asa seperti:
Ÿw(#râÉtG÷ès?tPöquø9$#(ÇÐÈ
“Janganlah kamu mengemukakan alasan pada hari ini” {QS Al-tahrim / 66:7}”
7)        Tahdid
Kaidah Kedua
“Larangan terhadap sesuatu berarti perintah akan kebalikannya”.Misalnya pada kalimat“janganlah kamu mempersekutukan Allah”
Larangan mempersekutukan Allah berarti perintah untuk mentauhidkan-Nya.
Kaidah Ketiga
“pada dasarnya larangan yang mutlak menghendaki pengulangan larangan dalam setiap waktu”
Jadi larangan yang tidak dikaitkan dengan suatu syarat atau sebab. Seperti waktu atau sebab-sebab lain.maka berate diharuskan meninggalkan yang dilarang itu sepanjang masa.Namun bila larangan itu dikaitkan dengan waktu , maka perintah larangan itu berlaku selama ada sebab.misalnya pada kalimat
Ÿw(#qç/tø)s?no4qn=¢Á9$#óOçFRr&ur3t»s3ßÇÍÌÈ
“Janganlah kamu shalat ketika kamu dalam keadaan mabuk” {QS. An-nisa / 4;43}”
Kaidah keempat
“Pada dasarnya larangan itu bermakna fasad {rusak} secara mutlak”
Rasulullah saw bersabda” setiap perkara yang tidak ada perintah kami, maka ia tertolak”Dengan demikian segala perkara yang dilarang berarti tidak diperintahkan, dan setiap yang tidak diprintahkan berarti tertolak, dan tertolak berarti batal.{tidak sah. Fasad}hukumnya
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1  Kesimpulan
1.         Amr adalah Suatu lafadz yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi derajatnya kepada irang yang lebih rendah untuk meminta bawahannya mengerjakan suatu pekerjaan yang tidak boleh ditolak.
2.         Nahi adalah larangan ialah tuntutan meninggalkan sesuatu yang datangnya dari orang-orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya.

3.2 Saran
Dengan pemaparan makalah tentang pengertian, bentuk-bentuk, kemungkinan hukum serta kaidah-kaidah yang berhubungan dengan Amr dan Nahi ini semoga kita dapat :
1.         Dengan mudah mengetahui arti dan maksudnya dalam menghayati makna maksudnya agar mudah mengamalkan pelaksanaan ajaran-ajarannya. Serta mendorong kita bisa mengetahui maksud dan tujuan nash Al-Qur’an dan Al-Hadits baik dari sudut teks maupun dari aspek makna.
2.         Dengan mudah untuk membuktikan kelemahan dan kebodohan kita sebagai manusia. Sebesar apapun usaha dan persiapan kita, masih ada kekurangan dan kelemahannya. Hal tersebut menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah Swt, dan kekuasaan ilmu-Nya yang Maha Mengetahui segala sesuatu.






























Tidak ada komentar:

Posting Komentar