KATA PENGANTAR
Segala
puji hanya milik Allah SWT. Yang telah memberikan kita akal fikiran, rahmat dan
hidayah sehingga kita bisa membedakan yang hak dan yang bathil, sholawat serta
salam semoga tetap mengucur deras kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Berkat beliau agama Islam tersebar luas di dunia dengan metode "rohmatan
lil'alamin ".
Dengan
ucapan bismillah dan alhamdulillah sepenuh hati, saya penulis merasa sangat
berbahagia dengan selesainya makalah yang telah menjadi tugas saya dalam
mencari lebar dan dalamnya ilmu pengetahuan.
Ushul
fiqih sebagai ilmu metodologi penggalian hukum mempunyai peranan penting dalam
ranah keilmuan agama Islam khususnya dalam ilmu hukum islam atau ilmu fiqih.
Pembahasan dari segi kebahasaan atau kajian lughawiyah, sangat penting sekali
ditela’ah karena sumber hukum islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadist menggunakan bahasa arab yang mempunyai
banyak makna yang terkandung didalamnya. Penulis akan mengetengahkanmasalahamar dan nahi sebagai bagian dari pada makna kebahasaan
tersebut.
Kami
haturkan kepada para pembaca, makalah yang menurut kami jauh dari kata sempurna
ini. Kami mohon ma'af apabila dalam panuturan makalah ini terdapat kesalahan,
maka dari itu kritik dan saran yang membangun kami mohon dengan sangat kepada
para pembaca sekalian. Semoga bermanfaat, dan kita mendapatkan rahmat dan ridho
Alloh Swt. Amin
Sukamanah, Juni 2013
Penyusun,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................
i
DAFTAR ISI............................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah...........................................................................
1
1.2 Rumusan
Masalah....................................................................................
2
1.3 Batasan
Masalah......................................................................................
2
1.4 Tujuan......................................................................................................
2
1.5 Metode
Penelitian.....................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Amar dan Nahi.......................................................................
3
2.2 Bentuk-bentuk
Amr dan Nahi..................................................................
7
2.3
Kaidah-kaidah yang Berhubungan dengan Amr dan Nahi..........................11
3.1 Simpulan..................................................................................................16
3.2 Saran.......................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 17
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Masalah
Dalam
matematika, kita mengenal theorema phytagoras, dalam fisika lebih banyak lagi
hukum yang kita kenal dan diakui sebagai kaidah umum yang berlaku dalam suatu
bidang tertentu dari cabang ilmu fisika. Dalam kimia pun demikian, kita
mengenal adanya hukum kekekalan massa dan masih banyak hukum atau teori lain
yang berlaku.
Hukum atau
teori tadi dikembangkan oleh para ilmuwan melalui serangkaian percobaan dan
pengujian sehingga diperoleh kesimpulan umum yang kemudian diakui sebagai
kaidah dalam ilmu tersebut. Sampai adanya teori baru yang lebih ‘kuat’,
teori-teori tersebut akan tetap digunakan sebagai kaidah yang diakui dan
dijadikan sebagai dasar dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Dari situ kita
bisa melihat betapa kaidah/teori/hukum dalam suatu bidang keilmuan tertentu
memiliki peran yang sangat penting bagi manusia, dalam hal-hal duniawi
tentunya.
Lalu, apakah
Islam juga memiliki kaidah-kaidah seperti itu? Kaidah-kaidah atau hukum-hukum
yang menjadi dasar bagi pengamalan syariat Islam?
Nabi Muhammad SAW. Bersabda :
Nabi Muhammad SAW. Bersabda :
“Tinggalkanlah
sesuatu yang aku tidak anjurkan kepadamu. Kebinasaan umat terdahulu ialah
karena mereka banyak bertanya dan selalu menyelisihi Nabi mereka. Jadi, apabila
aku melarangmu dari sesuatu, tinggalkanlah, dan apabila aku perintahkan sesuatu
kepadamu, lakukanlah semampumu” (HR Bukhari No. 7288 dan Muslim No. 1337).
Oleh karena
itu, agama Islam juga mempunyai kaidah – kaidah atau hukum – hukum yang menjadi
dasar bagi pengamalan syariat Islam, dan semua itu terkandung dalam ilmu ushul
fiqih.
Ilmu ushul fiqh menyajikan berbagai cara dari berbagai aspeknya
untuk menimba pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah. Untuk memahami teks-teks dari dua sumber yang berbahasa Arab tersebut,
para ulama telah menyusun semacam sistematik yang akan digunakan dalam praktek
penalaran fiqih. Bahasa Arab menyampaikan suatu pesan dengan berbagai cara dan
dalam beberapa tingkat kejelasannya.
Secara garis besar, metode istinbath dapat dibagi kepada tiga
bagian, yaitu segi kebahasaan, segi mawasid(tujuan) syari’ah, dan segi
penjelasan beberapa dalil yang bertentangan. Ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an
dalam menyampaikan ajaran Allah dan begitu juga Sunnah Rasulullah ada yang
berbentuk amr(perintah), nahi(larangan), dan takhyir(pilihan). dari tiga
kategori ayat-ayat hukum itulah terbentuk hukum-hukum, seperti wajib, mandub,
haram, makruh dan mubah.
dalam makalah ini, yang akan dibahas adalah masalah metode
istinbath bila dilihat dari segi kebahasaan yang berbetuk amr(perintah) dan
nahi (larangan).
1.2
Rumusan Masalah
Agar dalam penulisan makalah ini
lebih mengarah dan efektif, kami merumuskan masalah yang akan kami bahas yaitu
:
1.
Pengertian Amr
dan Nahi
2.
Bentuk-bentuk
Amr dan Nahi
3.
Kaidah-kaidah
yang berhubungan dengan Amr dan Nahi
1.3
Batasan Masalah
Dalam karya ilmiah ini, saya hanya membatasi dua pembahasan saja,
yaitu Amr dan Nahi.
1.4
Tujuan
Pembuatan
makalah ini bertujuan untuk mengetahui
1.
Pengertian Amr
dan Nahi
2.
Bentuk- bentuk
Amr dan Nahi
3.
Kaidah- Kaidah
Yang Berhubungan dengan Amr dan Nahi
1.5
Metode
Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
study pustaka dengan menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :
1.
Sumber data
yang diperoleh melalui study kepustakaan yaitu pengumpulan dari buku dan
searching via internet.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Amr dan Nahi
2.1.1 Pengertian Amr
a.
Amr menurut
bahasa artinya suruhan, perintah dan perbuatan. Sedangkan menurut istilah yaitu
tuntutan memperbuat dari atasan kepada bawahan.
b.
Amar adalah :
لفظ يراد به ان يفعل المامر ما يقصد من الام
“Lafal yang dikehendaki dengannya supaya orang mengerjakan apa yang
dimaksud”
c.
Amar adalah :
هو طلب الفعل من الأعلى الى الادنى
“suatu permintaan dari atasan kepada bawahan untuk mengerjakan
suatu pekerjaan.”
Jika Allah memerintahkan
hamba-hambanya untuk mengerjakan sesuatu perbuatan, artinya menunjukkan kepada
kewajiban mematuhi perintah-Nya, kalau ia sudah mukallaf maka ia mendapat pahala jika ia mengerjakannya dan dia
akan mendapat siksa jika ia meninggalkannya. Jumhur ulama berkata:
الاصل
فى الامر للوجوب ولا تدل على غيره الا تدل على غيره الا بقرينة
“pada dasarnya
amr itu menunjukkan kepada wajib dan tidak menunjukkan kepada yang selain wajib
kecuali dengan qarinah.”
seperti:
وَأَقِيمُوا
الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ
"...dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat..."(Qs. An-Nisa’:77)
Kalimatini menunjukkan kepada wajib
mengerjakan sholat dan mengeluarkan zakat, tidak ada qarinah yang menunjukkan
kepada ketidak wajiban shalat dan zakat
d.
Amr adalah:
طلب الفعل ممن هو دونه على سبيل الوجوب
"menuntut kepada orang yang sebawahnya, untuk mengerjakan
sesuatu dengan tuntutan yang mengharuskan".
Jadi bisa disimpulkan, bahwa orang yang memerintah kedudukannya harus
lebih tinggi daripada orang yang di perintah. Pendapat ini didukung oleh abu
ishaq asy-syairozi, ibnu shobagh & sam'ani (an-nafahat: 50).
Sementara imam ar-rozi, al-amudi & ibnu hajib berpendapat:
"orang yang menyuruh/merintah tidak harus lebih tinggi daripada yang diperintah,
namun disyaratkan memposisikan diri seakan-akan lebih tinggi daripada orang yang
di perintah". Dan imam subkhi dalam jam'ul jawami' berpendapat :" orang
yang memerintah tidak harus lebih tinggi daripada orang yang diperintah dan
juga tidak harus memposisikan diri lebih tinggi daripada orang yang
diperintah". Pendapat ini adalah yang rojih (kuat).
e.
Amar (Perintah) Amar adalah suatu tuntutan
(perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya
kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya. Amar dalam al-Quran disampaikan
dalam berbagai gaya atau redaksi: Perintah tegas dengan menggunakan kata أمر seperti dalam QS. Al-Nahl: 90
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ
Amar dalam
bentuk pemberitaan bahwa perbuatan itu diwajibkan dengan kata كُتِبَ seperti dalam QS. Al-Baqarah: 178
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ
فِي الْقَتْلَى
Amar dengan
memakai redaksi pemberitaan (jumlah khabariyah) , namun yang dimaksud adalah
perintah. Misalnya dalam QS. Al-Baqarah: 228
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ
يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ
f.
Menurut
mayoritas ulama’ Ushul Fiqh, amr adalah:
الفظ الدال على طلب الفعل على جهة الاستعلاء
Suatu tuntutan(perintah)
untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak
yang lebih rendah tingkatannya.
2.1.2
Pengertian Nahi
a.
Nahi adalah: Tuntutan untuk meninggalkan secara
pasti, tidak menggunakan “Tinggalkanlah”, atau yang sejenisnya.
b.
Nahi adalah larangan melakukan suatu perbuatan
dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah
tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu. Nahi dalam al-Quran
disampaikan dalam berbagai gaya: Larangan secara tegas dengan kata نهى seperti dalam QS. Al-Nahl: 90
عَنِ
الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَيَنْهَى
Larangan dengan
menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan حرم seperti
dalam QS. Al-A’raf: 33
قُلْ
إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ
Larangan dengan
menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal dilakukan, misal QS. Al-Nisa`: 19
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا
Larangan dengan
menggunakan fi’il mudhari’ yang disertai lam yang menunjukkan larangan ( لا الناهية)
seperti dalam QS. Al-An’am: 152
وَ
لا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
c.
Nahi adalah :
ا
لــنـهـي هـو طــلـب ا لــكــفّ عـن فــعــل مـن ا لأ عــلى ا لى ا لأ د نى
“Laranga adalah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan
dari orang yang lebih tinggi derajatnya kepada yang rendah”.
d.
Nahi adalah
القول
الدال على استدعاء الترك ممن هو دونه على سبيل الوجوب
“Ucapan yang menunjukkan permintaan untuk meninggalkan sesuatu
kepada orang sebawahnya yang sifatnya wujub/harus".
Sedangkan nahi yang
dimutlakkan adalah:
مطلق النهى
يقتضى دوام الترك ما لم يقيد بالمرة
"nahi yang dimutlakkan menuntut untuk ditinggalkan slamanya,
selama tidak disertai qoyid untuk dilakukan skali saja".
Contoh nahi yang dimutlakkan : ﻻ
تأكلوا الربا janganlah kalian memakan riba (berarti larangan memakan riba disini
berlaku selamanya, karena tidak ada qoyid yang menunjukkan dilakukan sekali
saja).
Contoh nahi yang diqoyidi "cukup dilakukan sekali" adalah
:ﻻ تسافر اليوم= jangan bepergian hari ini (berarti
besok/lusa boleh bepergian).
Larangan yangtidak bersifat mengharuskan, tidak bisa disebut nahi,
sebagaimana larangan untuk meninggalkan perkara makruh yang sifatnya hanya
anjuran. Maka pada hakikatnya, makruh bukan termasuk perkara terlarang (an-manhiyyu
'anhu).
Secara akal, perkara yang dilarang adalah perkara yang tercela.
Maka nahi yang dimutlakkan berarti menunjukkan rusak(batal)nya perkara yang
dilarang, baik brupa ibadah maupun mu'amalah.
e.
Ulama yang
mensyaratkan kedudukan yang lebih tinggi bagi yang menyuruh memberikan definisi
sebagai berikut:
هو طلب الترك من الاعلى الى الأدنى
Artinya:
“Tuntutan untuk meninggalkan dari pihak yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah”.
“Tuntutan untuk meninggalkan dari pihak yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah”.
f.
Ulama yang
mempersyaratkan adanya sikap meninggi waktu menyampaikan nahi itu memberi
definisi:
هو اقتضاء كفّ على وجه الاستعلاء
Artinya:
“Tuntutan untuk meninggalkan meninggi”.
“Tuntutan untuk meninggalkan meninggi”.
g.
Definisi yang
lebih lengkap ialah:
هو طلب الكفّ على وجه الإلزام بلفظ غير
نحو كفّ
Artinya:
“Tuntutan untuk meninggalkan secara pasti tidak menggunakan “Tinggalkanlah”, atau yang sejenisnya.
“Tuntutan untuk meninggalkan secara pasti tidak menggunakan “Tinggalkanlah”, atau yang sejenisnya.
2.2 Bentuk-bentuk Amr dan Nahi
2.2.1 Bentuk-bentuk Amr
a.
Bentuk fi’il
amr
Sepertifirman
Allah :Qs. An-Nisa’:4 :
وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan...”
b.
Bentuk fi’il
mudhari’ (kata kerja untuksekarang dan yang akan datang) yang disertai oleh lam
al-amr (huruf yang berarti perintah)seperti firman Allah : Qs. Ali-Imran :104 :
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى
الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُون
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar”
c.
Bentuk isim
fi’il amrseperti firman Allah : Qs. Al-Maidah : 150 :
...عَلَيْكُمْ
اَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ اِذَا اهْتَدَيْتُمْ
“...Jagalah
dirimu, tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila
kamu telah mendapat petunjuk...”
d.
Bentuk masdar
pengganti fi’ilseperti firman Allah : Qs. Al-Baqarah :83 :
وَبِالْوَالِدَيْنِ
إِحْسَانًا
“dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapakmu...”
e.
Bentuk jumlah
khabariyah-kalimat berita yang mengandung arti insyaiyah, perintah atau
permintaan.
contoh firman
Allah SWT, Qs. Al-Baqarah : 228:
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru'...”
Kata-kata yang
mengandung makna suruhan atau perintah, wajib, fardlu, seperti :
a)
Kata amrun
Padafirman
Allah SWT, Qs. An-Nisa’ :58 :
إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
“Sesungguhnya
Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya...”
b)
Kata fardlun
Padafirman
Allah SWT, Qs. Al-Ahzab: 50 :
إِنَّا
أَحْلَلْنَا لَكَ أَزْوَاجَكَ اللَّاتِي آَتَيْتَ أُجُورَهُنَّ
“...Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan
kepada mereka tentang isteri-isteri mereka...”
c)
Kata kataba
Padafirman
Allah, Qs. Al-Baqarah :183:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu berpuasa”
d)
Memberitahukan
tentang adanya kewajiban dengan memakai kata ‘alacontoh firman Allah, Qs.
Ali-Imran :97:
ا
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلً
“mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan
perjalanan ke Baitullah”
e)
Jawab syarat
Shigat
al-Amr secara
bahasa bermakna tidak mengandung adanya pengulangan perkara yang diperintahkan
dan tidak menunjukkan bahwa yang diperintahkan itu harus segera dilaksanakan.
Pengulangan dan penyegeraan melakukan perbuatan yang diperintahkan tidak
ditunjuk oleh shigat itu sendiri, sebab maksud tersebut adalah
tercapainya perkara yang diperintahkan. Maksud itu dapat tercapai lantaran
telah dikerjakan walaupun hanya sekali saja dan pada waktu apa saja, jika
terdapat qarinah yang menunjukan adanya pengulangan atau penyegeraan, maka
qarinah itulah yang sebenarnya menunjukkan pengulangan dan penyegeraan. Untuk
lebih jelasnya penulis kemukakan pendapat ulama, sebagai berikut:
Mengenai
suatu perintah apakah dikerjakan sekali atau harus berulang kali. Dalam masalah
ini terdapat beberapa pendapat:
Menurut
fuqaha Hanafiah dan kebanyakan fuqha syafiiyah, bahwa:
الأصل فى الأمر لا يقتضى التكرار
Alasan
yang mereka kemukakan bahwa sihagt al-Amr itu sendiri pada dasarnya
tidaklah menunjukkan bahwa sesuat yang diperintah oleh sighat al-Amr itu
harus dikerjakan sekali atau berulang kali. Apabila melakukan perintah itu
sekurang-kurangnya cukup dengan sekali saja, maka yang demikian itu sudah dapat
dikatakan mentaati perintah, misalnya perintah menjalankan haji dan umrah dalam
QS. Al-baqarah (2): 196.
Menurut
sebagian ulama;
الأصل فى الأمر لا يقتضى التكرار مدة العمر مع الإمكان.
Dalam
hal ini amr diqiyaskan dengan tuntutan untuk meningalkan perbuatan yang
berlaku dalam shigat nahi yang mengandung pengertian untuk terus menerus
ditinggalkan, karena amr dan nahi keduanya adalah sama-sama
berupa tuntutan.
Sebagian
ulama berpendapat bahwa al-Amr itu mewajibkan adanya pengulangan apakah Amr
dihubungkan dengan syarat seperti dalam QS. al-Maidah (5): 6. Kewajiban
tersebut harus berulang dikerjakan, selama syarat itu ada (berulang kali
terjadi), yaitu junub biarpun perintahnya sekali saja. Demikian pula bila ada
hubungan sifat perbuatan, misalnya dalam QS al-Nur (24): 3. Menjatuhkan hukuman
dera kepada laki-laki atau perempuan yang berzina harus berulang kali
dilakukan, selama sifat perbuatan zina itu dikerjakan tanpa menunggu adanya
perintah baru untuk menjatuhkan hukuman dera.
Kesegeraan
dalam melaksanakan perintah. Dalam masalah ini terdapat beberapa pendapat.
Menurut
Hanafiah dan Syafiiyah.
الأصل فى الأمر لا يقتضى الفور
Alasan
yang mereka kemukakan adalah bahwa shigat Amr itu diciptakan hanya
semata-mata untuk menutut sesuatu perbuatan. Karena itu tidak ada petunjuk
untuk segera dikerjakan atau ditunda.
Fuqaha
Malikiyah dan Hanabilah berpendapat.
الأصل فى الأمر يقتضى الفور
Mereka
mengqiyaskan dengan shigat nahyu yang mengandung arti segera
ditinggalkan, karena kedua amr itu sama-sama merupakan tuntutan.
Amr
yang datang
sesudah Nahi (larangan). Dalam masalah ini terdapat beberapa pendapat.
الأصل فى الأمر للوجوب ولو بعد النهى
Yang
demikian itu menurut umumnya dalalah amr itu wajib. Maka kedatangannya
sesudah nahi pun tidak mempengaruhi dalalahnya am’ itu.
Contoh
dalam QS. al-Jum’ah : 10 yang datang setelah larangan mencari dengan alan jual
beli di waktu penggilan salat jum’at telah diserukan dalam firmannya QS.
al-Jum’ah : 9. Hal ini bukan perintah wajib, tetapi hanya sekadar kebolehan
saja.
2.2.2 Bentuk-bentuk Nahi
Dalam melarang suatu
perbuatan, seperti disebutkan oleh Muhammad Khudari Beik. Allah juga memakai
ragam bahasa, diantaranya:
a.
Fi’il Mudhari yang disertai dengan La
An-Nahiyah
لَا
تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ
“Janganlah
berbuat kerusakan di bumi”.{QS.Al-baqarah /2;11}
b.
Larangan
secara tegas dengan menggunakan kata NAHA yang secara bahasa berarti melarang.
و ينهى
عنى الفخشىء والمنكر...
Artinya: “Dan Allah melarang kamu berbuat keji dan munkar”.(QS 16 :
90 )
c.
Larangan
dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan itu diharamkan. Misalnya dalam surat
Al-A’raf ayat 33.
قل انما
حرم ربي الفوا حش.....
Artinya: “Katakanlah tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji….”
d.
Larangan
dengan memakai kata perintah namun bermakna tuntutan untuk meninggalkan,
misalnya ayat 120 surat al-An’am:
ودروا ظا هرالاثم وبا طنه.....
2.3 Kaidah- Kaidah Yang
Berhubungan dengan Amr dan Nahi
2.3.1 Kaidah-kaidah yang
berhubungan dengan Amr
Kaidah-kaidah amar ialah ketentuan-ketentuan yang dipergunakan para
mutjahid dalam mengistinbatkan hokum. Ulama ushul merumuskan kaidah-kaidah amar
dalam lima bentuk, yaitu :
Kaidah
pertama
Pada dasarnya amar(perintah) itu menunjukan kepada wajib dan tidak
menunjukan kepada selain wajib kecuali dengan adanya qaninah.
Maksud dari kaidah tersebut adalah bahwa mengerjakan sesuatu
pekerjaan yang dituntut oleh suatu perintah adalah wajib diperbuat. Tapi dalam
perkembangannya amar itu bisa dimaksudkan bukan wajib,antara lain seperti
berikut ini:
1.
Nadab: anjuran
sunah,
2.
Irsyad :
membimbing atau memberi petunjuk,
3.
Ibahah: boleh
dikerjakan dan boleh ditinggal,
4.
Tahdid:
mengancam atau menghardik,
5.
Taskhir:
menghina atau merendahkan derajat,
6.
Ta’jiz:
menunjukan kelemahan lawan,
7.
Taswiyah: sama
antara dikerjakan atau tidak,
8.
Takdzib:
mendustakan,
9.
Talhif: membuat
sedih atau merana,
10.
Doa:
permohonan,
Kaidah kedua
“Perintah setelah larangan
menunjukan kepada kebolehan”
Maksud dari kaidah ini ialah, apabila ada perbuatan-perbuatan yang semula dilarang ,lalu datang perintah mengerjakan, maka perintah tersebut bukan perintah wajib tetapi bersifat membolehkan. seperti Firman Allah swt.
Maksud dari kaidah ini ialah, apabila ada perbuatan-perbuatan yang semula dilarang ,lalu datang perintah mengerjakan, maka perintah tersebut bukan perintah wajib tetapi bersifat membolehkan. seperti Firman Allah swt.
#sÎ*sùÏMuÅÒè%äo4qn=¢Á9$#(#rãϱtFR$$sùÎûÇÚöF{$#(#qäótGö/$#ur`ÏBÈ@ôÒsù«!$#(#rãä.ø$#ur©!$##ZÏWx.ö/ä3¯=yè©9tbqßsÎ=øÿè?ÇÊÉÈ
“apabila
shalat telah dilaksanakan , maka bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia
allah{ QS.al-jumu’ah 62:10}”
Dengan demikian perintah bertebaran
dinuka bumi,seperti kata ayat diatas, hukumnya tidak wajib, tapi diperbolehkan.
Kaidah ketiga
“Pada dasarnya perintah itu tidak
menghendaki segera dilaksanakan”
Misalnya tentang haji seperti firman Allah swt.
Misalnya tentang haji seperti firman Allah swt.
bÏir&urÎûĨ$¨Y9$#Ædkptø:$$Î/ÇËÐÈ
“Dan
serulah manusia untuk mengerjakan haji”{ QS. Al-haji/ 22:27}
Dalam hadist Nabi saw dinyatakan:
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu{untuk melaksanakan}haji,
maka berhajilah kamu.
Kaidah Keempat
Padadasarnya perintah ini tidak
menghendaki pengulangan{berkali-kali mengerjakan perintah}.Misalnya dalam
ibadah haji , yaitu satu kali seumur hidup namun bila perintah itu dimaksudkan
pengulangan,maka harus ada qarinah atau kalimat yang menunjukan pada
pengulangan.
Menurut ulama, qarinah dapat dikelompokan menjadi 3 :
Menurut ulama, qarinah dapat dikelompokan menjadi 3 :
1)
Perintah itu
dihubungkan dengan syarat,seperti wajib mandi setelah junub.
2)
Perintah itu
dihubungkan dengan ‘illat,seperti hukumm rajam kalau melakukan zina.
3)
Perintah itu
dihubungkan dengan sifat atau keadaan yang berlaku sebagai ‘illat, seperti
kewajiban shalat setiap kali masuk waktu shalat.
Kaidah Kelima
Memerintahkan mengerjakan sesuatu
berarti memerintahkan pula segala wasilahnya.Maksud kaidah ini adalah bahwa
perbuatan yang diperintahkan itu tidak bisa terwujud,tanpa disertai dengan
sesuatu perbuatan lain yang dapat mewujudkan perbuatan yang diperintah itu,
seperti kewajiban mengerjakan shalat.
2.3.2 Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan Nahi
Kaidah Pertama
Menurutjumhurpada dasarnya kaidah
itu menunjukan haram. Seperti:
wur(#qç/tø)s?#oTÌh9$#(ÇÌËÈ
“Dan janganlah kamu mendekati zina”{QS.al-isra / 17:32}”
Alasan dipakai Jumhur.
1)
Akan dapat memahami
bahwa sigat bentuk anhi itu menunjukan arti yang sebenarnya,yaitu melarang
2)
Ulama salaf
memahami sigat nahi yang bebas dari qarinah menunjukan larangan.
Sebagian ulama lain berpendapat”
Pada dasarnya larangan itu menunjukan makruh”
Menurut kaidah ini ,nahi bermakna
sesuatu yang dilarang itu adalah tidak baik.Karena itu tidak selalu bermakna
haram ,tetapi makruh. Sebab makruh lah pengertian yang pasti.
Sigat nahi selain menunjukan haram
,sesuai dengan qarinahnya juga menunjukan beberapa arti ,antara lain sebagai
berikut:
1)
Bermakana
Karaah, seperti: “jangan kamu shalat diatas kulit onta yang di samak”
2)
Bermakna Doa,
seperti:
wß#Ïk=s3ãª!$#$²¡øÿtRwÎ)$ygyèóãr4$ygs9$tBôMt6|¡x.$pkön=tãur$tBôMt6|¡tFø.$#3$oY/uw!$tRõÏ{#xsè?bÎ)!$uZÅ¡®S÷rr&$tRù'sÜ÷zr&4$oY/uwurö@ÏJóss?!$uZøn=tã#\ô¹Î)$yJx.¼çmtFù=yJymn?tãúïÏ%©!$#`ÏB$uZÎ=ö6s%4$uZ/uwur$oYù=ÏdJysè?$tBwsps%$sÛ$oYs9¾ÏmÎ/(ß#ôã$#ur$¨YtãöÏÿøî$#ur$oYs9!$uZôJymö$#ur4|MRr&$uZ9s9öqtB$tRöÝÁR$$sùn?tãÏQöqs)ø9$#úïÍÏÿ»x6ø9$#ÇËÑÏÈ
“Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat
pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada
orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami
apa yang tak sanggup kami memikulnya. beri ma'aflah Kami; ampunilah Kami; dan
rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, Maka tolonglah kami terhadap kaum
yang kafir” {Q.S al-Baqarah / 2:286}”
3)
Bermakna Irsyad
, memberi petunjuk , mengarahkan,seperti:
w(#qè=t«ó¡n@ô`tãuä!$uô©r&bÎ)yö6è?öNä3s9öNä.÷sÝ¡n@ÇÊÉÊÈ
“janganlah kamu menanyakan{kepada nabimu}
hal-hal yang jika diterangkan kepadamu,{justru}menyusahkanmu” {QS. Al-Maidah / 5:101}”
4)
Bermakna
Tahqir,menghina,seperti:
w¨b£ßJs?y7øt^øtã4n<Î)$tB$uZ÷èGtBÿ¾ÏmÎ/$[_ºurør&óOßg÷YÏiBwur÷btøtrBöNÍkön=tãôÙÏÿ÷z$#ury7yn$uZy_tûüÏZÏB÷sßJù=Ï9ÇÑÑÈ
“Janganlah sekali-kali kamu
menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang Telah kami berikan kepada
beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu), dan janganlah kamu
bersedih hati terhadap mereka dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang
yang beriman”.{QS. Al-Hijr /
15:88}”
5)
Bermakna Bayan
Al-aqibah,seperti:
wur¨ûtù|¡øtrBtûïÏ%©!$#(#qè=ÏFè%ÎûÈ@Î6y«!$#$O?ºuqøBr&4ÇÊÏÒÈ
“Dan jangan sekali-kali kamu mengira
orang-orang yang gugur dijalan Allah itu mati” {QS Al-imran / 3.169}
6)
Ta’yis
menunjukan putus asa seperti:
w(#râÉtG÷ès?tPöquø9$#(ÇÐÈ
“Janganlah kamu mengemukakan alasan pada hari
ini” {QS Al-tahrim / 66:7}”
7)
Tahdid
Kaidah
Kedua
“Larangan
terhadap sesuatu berarti perintah akan kebalikannya”.Misalnya pada kalimat“janganlah kamu mempersekutukan Allah”
Larangan mempersekutukan Allah berarti perintah untuk mentauhidkan-Nya.
Larangan mempersekutukan Allah berarti perintah untuk mentauhidkan-Nya.
Kaidah
Ketiga
“pada
dasarnya larangan yang mutlak menghendaki pengulangan larangan dalam setiap
waktu”
Jadi larangan
yang tidak dikaitkan dengan suatu syarat atau sebab. Seperti waktu atau
sebab-sebab lain.maka berate diharuskan meninggalkan yang dilarang itu
sepanjang masa.Namun bila larangan itu dikaitkan dengan waktu , maka perintah
larangan itu berlaku selama ada sebab.misalnya pada kalimat
w(#qç/tø)s?no4qn=¢Á9$#óOçFRr&ur3t»s3ßÇÍÌÈ
“Janganlah kamu shalat
ketika kamu dalam keadaan mabuk” {QS. An-nisa / 4;43}”
Kaidah
keempat
“Pada dasarnya
larangan itu bermakna fasad {rusak} secara mutlak”
Rasulullah saw bersabda” setiap perkara yang tidak ada perintah kami, maka ia tertolak”Dengan demikian segala perkara yang dilarang berarti tidak diperintahkan, dan setiap yang tidak diprintahkan berarti tertolak, dan tertolak berarti batal.{tidak sah. Fasad}hukumnya
Rasulullah saw bersabda” setiap perkara yang tidak ada perintah kami, maka ia tertolak”Dengan demikian segala perkara yang dilarang berarti tidak diperintahkan, dan setiap yang tidak diprintahkan berarti tertolak, dan tertolak berarti batal.{tidak sah. Fasad}hukumnya
BAB III
KESIMPULAN
DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
1.
Amr adalah
Suatu lafadz yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi derajatnya kepada
irang yang lebih rendah untuk meminta bawahannya mengerjakan suatu pekerjaan
yang tidak boleh ditolak.
2.
Nahi adalah
larangan ialah tuntutan meninggalkan sesuatu yang datangnya dari orang-orang
yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya.
3.2
Saran
Dengan pemaparan makalah tentang
pengertian, bentuk-bentuk, kemungkinan hukum serta kaidah-kaidah yang
berhubungan dengan Amr dan Nahi ini semoga kita dapat :
1.
Dengan mudah mengetahui arti dan
maksudnya dalam menghayati makna maksudnya agar mudah mengamalkan pelaksanaan
ajaran-ajarannya. Serta mendorong kita bisa mengetahui maksud dan tujuan nash
Al-Qur’an dan Al-Hadits baik dari sudut teks maupun dari aspek makna.
2.
Dengan mudah untuk membuktikan kelemahan
dan kebodohan kita sebagai manusia. Sebesar apapun usaha dan persiapan kita,
masih ada kekurangan dan kelemahannya. Hal tersebut menunjukkan betapa besar
kekuasaan Allah Swt, dan kekuasaan ilmu-Nya yang Maha Mengetahui segala
sesuatu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar